Hikmat dan Konflik
HIKMAT DAN KONFLIK
2.1.
Pendahuluan
Penulisan Tesis dengan judul “Hikmat mengelola konflik
di jemaat” penulis akan bagi dalam beberapa konsep, dengan tujuan merinci
setiap kontruksi bangunan berpikir yang hendak saya jabarkan untuk memberikan
pemahaman tersendiri bagi setiap pembaca. Hal ini tentunya akan sangat menolong
jalan pikiran dari penulis dan mempermudah pemahaman pembaca yaitu, yang pertama: Pendahuluan, yang kedua Konflik, Asumsi Konflik;
asumsi menolong, asumsi yang tidak dapat dihinari atau tanda orang lagi sehat,
menghadapi konflik penuh resiko tapi meghindari lebih resiko, Konflik; orang
lebih suka tau dari pada menyadari, terikat budaya, kita harus belajar dari
konflik, harus terus menerus sadar, bersedia menanggung resiko dan berbuat
salah, fit back atau evaluasi. Yang
ketiga Hikmat sebagai resolusi konflik.
Dari beberapa konsep diatas tujuannya agar, dapat
dipahami sebagai alur atau kerangka berpikir dari tulisan ini, untuk membantu
pemecahan masalah dalam tulisan ini. dan dengan konsep-konsep ini mempermudah
penulis untuk menemukan resolusi konflik yang sesuai dengan karakter tempat
dimana penulis akan mengadakan penelitian.
Kemana kini nir-kekerasan[1][2]
membawa kita? Secara singkat dapat dikatakan kini nir-kekerasan beralih dari
tindakan individu dan perseorangan ke tindakan kolektif yang melibatkan
berbagai kelompok; dari beberapa orang sampai jutaan orang. Nir-kekerasan telah
mengubah sikap kita dari tindakan pasif ke tindakan proaktif langsung.
Nir-kekerasan telah mengubah sikap kita sikap takut ke sikap berani, namun
tanpa kekerasan. Nir-kekerasan telah membawa kita melintasi teori perang – adil
dan pasifisme ke “jalan ke tiga”, yang merupakan sintesis baru dari keduanya.
(Wink Walter, 2012, 433).
Pandangan diatas mengatar kita untuk dapat melihat
konflik sebagai dinamika hidup yang akan terus berkembang serta mengatar kita
pada bagaimana mengikapi konflik tanpa kekerasan? Ini resolusi yang akan dibangun
untuk menciptakan model paradigma baru yang berkembang dalam mencegah konflik
yang bermuara pada kekerasan. Bahwa nir-kekerasan menghendaki agar manusia
memprotes sesuatu harus dengan jalan yang cerdas atau berhikmat untuk
memperoleh keadilan yang bermartabat.
Kini tiba waktunya untuk bertindak secara
nir-kekerasan yang aktif. Sikap semacam ini telah terbukti berhasil dalam
beberapa decade terakhir pada abad ke- 20. Terbukti efektif dalam memerangi
tirani politis. Dalam kerja sama dengan berbagai kelompok perdamaian dan
keadilan, maka akan terus memperjuangkan perdamaian dan keadilan bagi dunia
tanpa kekerasan. (Wink Walter, 2012, 434).
Sependapat dengan Pandangan diatas karena dalam
mendapatkan perdamaian membutuhkan perjuangan dan harus menggunakan metode yang
ampuh untuk mencegah segala konflik yang ada. Dunia saat ini harus bahu membahu
memikir penyelesaian konflik yang efektif untuk melihat lebih jauh kedepan
dengan harapan keadilan itu menjadi milik semua orang.
Persepsi orang terhadap konflik, dilatar belakangi
oleh pengalaman dalam mengelola organisasi, tingkat pendidikan dan pengaruh
lingkungan sosial. Konflik pada awalnya dianggap sebagai suatu penyimpangan
terhadap norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat maupun aturan organisasi namun dengan
meningkatnya pengetahuan maka pandangan konflik mengalami perubahan. (Wahyudi,
2011, 14. Cetakan ke IV)
Dari pandangan diatas dapat diasumsikan bahwa dalam
segala situasi konflik bisa saja terjadi walaupun pelayanan gereja di jemaat,
karena dapat dipengaruhi oleh berbagai factor yang mendorong lahirnya suatu
konflik.
Polak, M. (1982) membedakan konflik dalam 4 jenis
yaitu: (1) konflik antar kelompok, (2) konflik interen dalam kelompok, (3)
konflik antar individu untuk mempertahankan hak dan kekayaan, dan (4) konflik
interen individu untuk mencapai cita-cita. Konflik yang terjadi pada lingkungan
masyarakat lebih bervariasi, tidak hanya melibatkan kepentingan individu dan
kelompok. Dikemukakan oleh soekanto, s. (1981), jenis konflik meliputi; (1) konflik
pribadi, (2) konflik rasial, (3) konflik antar kelas-kelas social (4) konflik
politik antar golongan dalam masyarakat, (5) konflik berskala internasional
antar Negara.
2.2.
Konflik
DuBrin,
A.J. (1984:346) mengartikan konflik mengacu pada pertentangan antara individu
atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling
mengahalangi dalam pencapaian tujuan sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: “conflict
in the context used, refers to the opposition of person or forces that gives
rise to some tension. It occurs when two or more parties (individualis, groups,
organizayion) perceive mutually exclusive goals or event” .
Hal
senada juga dikemukakan juga oleh Hardjana (1994), bahwa konflik adalah
perselisihan, pertentangan antar dua orang/ dua kelompok dimana perbuatan yang
satu berlawanan dengan yang lainnya sehingga salah satu atau keduanya saling
terganggu. Kedua pendapat terakhir menganggap bahwa pertentangan antar individu
dan kelompok sebagai perilaku yang menggangu pencapaian tujuan organisasi.
Dengan demikian konflik diartikan sebagai peristiwa yang dapat merugikan
organisasi. (Wahyudi,2011, 19)
Oleh
karena itu konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tentunya dalam
menjalani pasti ada satu atau lebih masalah itu muncul secara sadar atau tidak
sadar, sehingga konsep diatas menguraikan bahwa konflik yang terjadi merupakan
perselisihan antara satu dan yang lain atau konlik harus ada 2 orang. Menurut
saya konflik tidak selamanya harus melibatkan orang lain, konflik bisa saja
terjadi dalam diri kita dan sebabnyapun terjadi atau mulai dari diri kita
sendiri.
Permulaan
konflik merupakan kondisi-kondisi yang menyebabkan atau mendahului satu
peristiwa konflik. Peristiwa yang dapat mengawali munculnya konflik adalah
kekecewaan (Frustration). Kekecewaan tidak selalu diungkap secara terbuka dan
biasanya gejala-gejala akan terjadinya konflik tidak dapat dilihat.
Masing-masing individu atau kelompok berusaha menahan diri dan tidak bersikap
reaktif.
Pengelolaan
konflik (conflict resolusion),
pemimpin bertanggungjawab terhadap pengelolaan konflik didalam sebuah
organisasi. Realitas menunjukkan bahwa konflik selalu hadir pada setiap
organisasi dan keberadaan konflik tidak dapat dihindarkan . tugas pemimpin
adalah mengarahkan dan mengelola konflik agar tetap produktif meningkatkan
kreatifitas individu guna menjaga kelangsungan organisasi.
Dampak
konflik (conflict effect / conflict
impact) konflik yang tidak dikelola secara baik menyebabkan kedua belah
pihak yang terlibat dalam konflik menjadi tidak harmonis dalam hubungan kerja,
kurang termotivasi dalam bekerja. Bila konflik dapat dikelola secara baik,
suasana kerja akan menjadi dinamis, setiap anggota lebih kristis terhadap
perkembangan organisasi, setiap kelompok berusaha melakukan pekerjaan yang
terbaik untuk kepentingan bersama. (wahyudi, 2011, 21).
Konflik
dapat menciptakan perubahan kearah yang baik dan kearah yang tidak baik.
Konflik pada akhirnya akan membawa perubahan, namun perubahan menuju yang baik
atau tidak tergantung bagimana pengelolaanya. Dampaknyapun akan sangat membantu
untuk mengenal lebih jauh siapa diri kita, teman / lawan kita, lingkungan
bahkan semua yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan kita, dimanapun kita
berada. Dalam suasana apapun, bahkan kondisi apapun kita akan belajar untuk
dapat menyelesaikan konflik secara damai. Mengapa karena dalam kehidupan kita
sesunggunya tidak seorangpun yang menginginkan kehidupan yang buruk dimasa yang
akan datang.
2.3. Asumsi Konflik
Konflik
merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan, baik
dalam organisasi pelayanan, bahkan konflik selalu hadir dalam setiap hubungan
kerjasama antara individu, kelompok, maupun organisasi. Konlik selalu
melibatkan orang, pihak atau kelompok orang, menyangkut masalah yang menjadi
inti, mempunyai proses perkembangan dan
ada kondisi yang menjadi latar belakang, sebab-sebab dan pemicunya. (Wahyudi,
2011, 23. Cetakan ke IV)
Dari
pemikiran diatas dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan bagian terpenting
dalam setiap kehidupan manusia, karena sebagian aktifitas manusia hampir terus
menerus berjumpa dengan konflik. Tentu konflik dilatar belakangi oleh kondisi
atau situasi dimana kita berada. Sehingga konflik menjadi penentu bagi yang
efektif untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Etika
karakter bahwa terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang efektif, dan bahwa
orang hanya dapat mengalami keberhasilan yang sejati dan kebahagiaan yang abadi
jika mereka belajar mengitegrasikan prinsip tersebut kedalam karakter dasar mereka.
(Covey 2010, 24)
Pandangan
diatas menunjukkan bahwa etika karakter menjadi apa ang dapat kita sebut etika
kepribadian. Keberhasilan merupakan suatu fungsi kepribadian, citra masyarakat,
sikap dan perilaku keterampilan dan teknik, yang melicinkan proses interaksi
manusia. Etika kepribadian ini bisa mengambil dua jalan, yang pertama adalah
teknik hubungan manusia dalam masyarakat, yang kedua adalah sikap mental pasif.
Cara
pandang merupakan gambaran diri kita, bagaimana secara komprehesif mewakili
setiap perilaku seseorang. Cara pandang yang positif akan mengandung dan
melahirkan perilaku yang positif dan sebaliknya. Cara pandang dapat mendorong
seseorang untuk bertindak atau berbuat berdasarkan arahan dan kemauan dari cara
pandang yang dikemas untuk tujuan tertentu.
Pertentangan
(Conflict) masyarakat mungkin pula
menjadi sebab perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan
mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan
kelompok. Umumnya masyarakat tradisional di Indonseia bersiafat kolegtif segala
kegiatan didasarkan pada kepetingan masyarakat. Kepentingan individu walaupun
diakui, tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara
kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya, dalam hal-hal tertentu
dapat menimbulkan perubahan-perubahan. (Soekanto, 2014, 278, cetakan ke 46)
Pertentangan
antar kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan-pertentangan
demikian itu kerapkali terjadi, apalagi pada masyarakat yang sedang berkembang
dari tahap tradisional ketahap modern. Generasi muda yang belum terbentuk
kepribadiannya lebih muda menerima unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya
kebudayaan barat) yang dalam beberapa hal mempunyai taraf yang lebih tinggi.
Keadaan demikian menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat,
misalnya pergaulan yang lebih bebas antara pria dan wanita, atau kedudukan
mereka yang kian sederajat didalam masyarakat dan lain-lainnya.
Memahami
konflik dengan segala dinamika dan pengelolaanya, akan sangat membantu kita
untuk lebih menggunakan kecerdasan hati dalam mencari rekonsiliasi konflik
untuk mencapai restorasi konflik yang bernilai. Untuk itu dapat kita asumsikan
dalam beberapa bagian, diantaranya:
a. Asumsi
menolong
Teori
kebutuhan manusia, mengatakan bahwa konflik dalam organisasi berakar dari
perbedaa riil atau akses setiap individu atau kelompok ketika berusaha untuk
mencapai atau memenuhi kebutuhan dasar demi kehidupan anggota organisasi dalam
masyarakat. Berbagai kebutuhan manusia, seperti kebutuhan fisiologis,
sosiologis, psikologis mungkin tidak seluruhnya akan dipenuhi oleh seseorang
hanya karena seseorang, termasuk sebagai anggota sebuah arganisasi. Jika
kesenjangan antara usaha untuk memperoleh atau memenuhi kebutuhan itu makin
besar, maka makin besar pula peluang terjadinya konflik.
Para
provokator konflik mengandalkan asumsi teoritis ini untuk menciptakan konflik
dengan menyebarkan isi-isu kesenjangan sosial, kesulitan memperoleh akses atau
memperoleh kebutuhan hidup. Sebaliknya, berdasarkan teori ini kita dapat
menganalisis dan merencanakan untuk memenuhi kebutuhan para anggota organisasi.
Artinya, kita dapat membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk
mengidentifikasi dan mengupayakan mencapai kesepakatan bersama atas
kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi agar dapat menghasilkan
pilihan-pilihan memenuhi kebutuhan hidup. (Liliweri 2014, 355).
b. Asumsi
yang tidak dapat dihindari atau tanda orang lagi sehat
Sifat
dasar manusia adalah bertindak dan bukan menjadi sasaran tindakan, selain
memungkinkan kita untuk memilih jawaban terhadapat keadaan terntu, sifat ini
member kekuatan untuk menciptkan keadaan tertentu. Mengambil inisiatif bukan
berarti mendesak, menjengkelkan atau agresif. (Covey 2010, 28)
Manusia
yang berinisiatif adalah manusia yang responsive terhadap situasi dan perilaku
seperti ini menunjukkan manusia yang sementara berpikir dan selalu siap karena
dipengaruhi oleh kesiapan mental, fisik atau pikiran yang bersih dan atau yang
sehat. Dengan inisiatif dapat menciptakan keseimbangan hidup, dan dapat
mengembangkan diri dengan sikap yang bertangungjawab terhadap setiap perlaku
yang muncul.
c. Mengahadapi
konflik penuh resiko tapi menghindari lebih resiko
Kematangan
adalah keseimbangan antara keberanian dan
tenggang rasa. Jika seseorang dapat mengekspresikan perasaan dan
keyakinannya dengan keberanian yang diimbangi dengan pertimbangan akan perasaan
dan keyakinan orang lain, maka ia sudah matang, khususnya jika persoalannya
sangat penting bagi kedua belah pihak. (Covey, 248). [3]
Dari
pikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa kematangan merupakan perilaku positif
dari manusia untuk menghadapi segala resiko, dan untuk menghadapi segala
konsekuensi konflik, baik secara sadar maupun tidak. Akan tetapi dalam
menghadapi konflik manusia harus berperilaku tenang dan proaktif terhadap
segala konflik yang terjadi di sisi kehidupan kita.[4]
2.4.
Konflik Sebagai Realitas
Konflik
merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan kita,
bahkan konflik selalu hadir dalam setiap hubungan kerja sama antar individu,
kelompok, maupun organisasi. Konflik selalu melibatkan orang, pihak atau
kelompok orang, menyangkut masalah yang menjadi inti, mempunyai proses
perkembangan dan ada kondisi yang menjadi latar belakang, sebab dan pemicunya
(Harjana, A.M. 1994). Mengingat berbagai macam perkembangan dan perubahan yang
terjadi dalam bidang manajemen, maka wajar muncul perbedaan-perbedaan pendapat,
keyakinan ataupun ide-ide (Winardi, 1990: 225).
Demikian
pula seiring meningkatnya pengetahuan masyarakat, pandangan terhadap konflik
berbeda dengan pandangan masa lampau. Untuk itu dapat pula kita konsepkan
beberapa pencegahan konflik yaitu:
1. Orang
lebih suka tau daripada menyadari.
Orang
lebih suka tau daripada menyadari, mungkin ini adalah satu kebiasaan yang
sering terjadi dalam kehidupan manusia dan terkadang tidak disadari oleh
manusia itu sendiri karena manusia diperhadapkan dengan keinginan yang selalu
disibukkan untuk mengetahui dan mendapat tanpa menyadari dari mana sumbernya.
Suka tau adalah ciri keegoisan dari manusia, karena dorong suka tau mungkin
saja tidak memberi ruang pada nurani untuk memfilter setiap keinginan dari
pikiran manusia.
Albert
Einstein dalam Covey, mengemukakan bahwa, “Masalah penting yang kita hadapi
kini tidak dapat kita pecahkan pada tingkat berpikir yang sama seperti ketika
kita menciptakan masalah tersebut. Ketika kita memandang kesekeliling kita dan
kedalam diri kita dan mengenali masalah-masalah yang terjadi ketika kita masih
hidup dan berinteraksi dalam etika kepribadian, kita mulai sadar bahwa semua
ini adalah masalah yang mendalam dan mendasar yang tidak dapat dipecahkan
secara dangkal saja. (Covey, 2010, 51)
Dari
pemikiran diatas terdapat beberapa hal yang terus mengikat manusia untuk berada
dalam satu kesatuan yang tidak boleh dilanggar, serta membutuhkan waktu yang
lama untuk merubahnya. Misalnya:
a. Terikat
budaya.
Reynecke (1997: 11-16) mendefinisikan budaya sebagai deposit
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama,
catatan tentang waktu, peranan, relasi tertentu, konsep universe, objek material, dan pemilikan yang diakui oleh satu
kelompok manusia yang kemudian diwariskan dari suatu generasi kegenerasi lain.
(Liliweri, 2014, 276)
Konsep diatas menggambarkan keterikatan masalah dengan budaya
adalah kumpulan perilaku manusia yang didasarkan pada manusia itu sendiri,
namun dari semua kumpulan yang disebut deposit tidak dapat terhindar dari
masalah atau konflik. Karena masalah atau konflik bagai dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan. Khususnya untuk mengatasi faktor lintas budaya dalam penyelesaian konflik: Perhatikan bukan hanya bahasa lisan,
tapi juga "bahasa tubuh" orang dari budaya lain. Berusaha untuk
mengerti dan menghargai pola pikir, tingkah laku, nilai-nilai dan hal-hal yang
dirasakan penting oleh orang dari budaya lain. Berusaha untuk berperilaku dan
berkomunikasi dengan cara yang akan dipahami dan diterima oleh orang dari
budaya lain.
b. Kita
harus terus belajar dari konlik
Manfaat
mempelajari konflik antara lain, agar kita dapat mengetahui siapa-siapa yang
terlibat dalam konflik; sumber atau sebab terjadinya konflik; proses terjadi
(dinamika) konflik; mengetahui akibat-akibat teradinya konflik; mengetahui
ruang fisik dan nonfisik; (geografis, sosilogis, antropologis, dan sosial
budaya) tempat dan waktu terjadinya konflik; mengetahui dan membedakan hakikat
konflik; kompetisi atau persaingan; mengetahui tipologi, bentuk dan pola
perilaku, dinamika, struktruk dari setiap konflik, mengetahui interaksi dan
relasi antara beragam konflik dari berbagai level,mulai dari level antar
personal, antar kelompok dan komunitas, antar komunal bahkan antar bangsa;
mengetahui dampak dari sebuah konflik terhadap semua level interaksi antar
manusia, menganalisis mengapa dan bagaimana terjadinya konflik, mulai dari
menganalisis mengapa ada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menganalisis
mengapa sumber-sumber konflik memengaruhi keterlibatan pihak yang terlibat,
menganalisis metode, teknik, dan strategi yang tepat untuk mencegah da
menyelesaikan konflik dan terakhir memberikan saran kepada pihak-pihak yang
terlibat konflik atau pihak lain yang sangat membutuhkan pendekatan,
pencegahan, penyelesaian, serta usaha-usaha memelihara kerja sama dan consensus
terhadap semua pihak. (Liliweri, 2014, 333)[5][6]
Dari
pemikiran diatas, dapat dipahami bahwa dengan konflik, manusia dipaksa untuk
menemukan jalan pikir. Dengan mengunakan pendekatan-pendekatan baik secara
ilmiah, sehingga dalam pemecahan konfliknya pun menjadi acuan pedoman bagi
setiap manusia untuk dapat berperilaku baik. Dengan konflik, orang mulai
belajar untuk memahami sesuatu dari setiap konflik yang ada. Mengapa, karena
konflik adalah bagian yang tidak dapat terhindarkan dari kehidupan manusia.
Oleh karena itu konflik adalah seni kehidupan manusia yang memberi makna atau
nilai yang tak terhingga.
c. Harus
terus menerus sadar
Setelah seseorang berhasil: (1) membangun percaya
diri, (2) “beralamat sendiri”, (3) mampu mengatur diri, (4) mengembangkan diri,
(5) mengangkat diri (6) mampu memperhatikan, dan (6) mampu mengupayakan;
adakalanya upayanya tersebut belum berhasil. Untuk itu, ia jangan berputus asa,
atau jangan patah semangat. Saat itulah ia berkesempatan
memanfaatkan kemampuan sadar-dirinya.
Sebagaimana diketahui, sadar diri adalah kemampuan
seseorang dalam mengetahui tentang adanya atau terjadinya sesuatu pada dirinya,
yang dengan itu ia bangkit dan mampu mengambil suatu keputusan, pilihan, atau
upaya yang tepat dalam melakukan perbaikan untuk mencapai kebajikan. Sadar diri
bermanfaat bagi seseorang, terutama ketika ia ingin mengetahui posisinya dalam
berinteraksi dengan orang lain atau masyarakat. Berdasarkan posisi inilah ia
dapat mengambil suatu keputusan, pilihan, atau upaya yang tepat dalam melakukan
perbaikan untuk mencapai kebajikan.
Agar mampu sadar diri seseorang perlu memiliki informasi
dan pemahaman yang memadai tentang dirinya dan kebajikan yang diperjuangkannya.
Informasi ini diperlukan agar ia mengetahui jarak antara dirinya dengan
kebajikan. Bila antara dirinya dengan kebajikan terdapat jarak yang terlalu
jauh, maka ia harus berupaya mendekatkan kualitas dirinya dengan kebajikan.
Dengan kata lain, kualitas dirinya harus sesuai dengan kebajikan.
karena itu, seseorang perlu terus menerus memiliki
ketertarikan pada kebajikan, dengan cara terus menerus memperbarui informasi
dan pemahaman yang memadai tentang kebajikan. Seseorang yang sadar diri juga
berikhtiar dengan bersikap, bahwa balasan atas suatu penderitaan yang dialami
haruslah sesuatu yang membajikkan.
d. Bersedia
menanggung resiko dan berbuat salah
Dari mulai lingkungan keluarga terkecil, kadang kita tidak berani mengaku
salah, kepada istri, kepada anak, kepada keluarga terdekat, kata maaf lebih
susah untuk terucap. Bertanggung jawab lebih susah dilakukan kepada orang-orang
terdekat kita. Di lingkungan pekerjaan dan masyarakat juga sama, semakin banyak
orang yang berani berbuat, tapi lupa dan lari dari kewajiban untuk bertanggung
jawab. Ada orang yang hobinya memanfaatkan orang lain, kemudian memetik hasil
kerja keras orang lain, ada juga orang yang sibuk menyalahkan orang lain
ketika masalah datang, demi keselamatan diri sendiri. Mereka ada dimana-mana,
dan salah satunya mungkin kita. Sungguh luar biasa, saking anehnya tidak
memahami bahwa kita adalah seorang pengecut.
Berani berbuat tapi tidak berani bertanggung jawab, sering terjadi di
kehidupan kita. Jangan-jangan inilah kepribadian kita yang baru. Pribadi
pengecut, pribadi penjilat, demi kepentingan sendiri, mempersulit orang
lain.Mudah-mudahan kita semua segera sadar, dan berani bertanggung jawab atas
segala perbuatan yang kita lakukan.
2. Mencari Hikmat dalam mencegah konflik di
jemaat
Integritas
pelayanan tidaklah sederhana atau otomatis. Akan tetapi etika pelayanan
bertumpu pada pemahaman yang benar tentang panggilan pelayanan. Untuk itu
persyaratan yang etis adalah pemahaman yang jelas tentang panggilan pelayanan.
(Trull dan Carter, 2014, 17, 18).
Dari
pandangan diatas, dapat dikatakan bahwa panggilan pelayanan merupakan proses
yang sadar untuk menciptakan konsep pelayanan yang benar. Prisnsip pelayanan
menjadi hal yang urgen untuk ditegakkan dalam menunjang profesi pelayanan di
jemaat.
Karakter
adalah “orientasi moral” batin yang membentuk hidup kita menjadi pola-pola yang
bermakna dan terduga, maka pelayanan Kristen harus menginternalisasikan
tuntuntan-tuntutan dan batas-batas kehidupan professional sampai titik berlaku
etis hampir setiap waktu seolah secara naluri. (Trull dan Carter, 2014, 55,
56).
Kenyataan
ini, bahwa watak mempengaruhi perbuatan, mempengaruhi pendekatan, terhadap
etika pribadi social. Oleh karena itu tugas utama etika sosial Kristen bukanlah
menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih adil, melainkan menolong orang
Kristen membangun masyarakat yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Peristiwa
konflik sebagai suatu kejadian yang alamiah seiring dengan dinamika dan
perkembangan organisasi. Keberadaan konflik tidak dapat dihindarkan dan selalu
terjadi dalam setiap interaksi antar individu maupun antar kelompok. Konflik
Pelayanan di Jemaat Imanuel Kolhua dan Mata Jemaat Ebenhaezer Iungboken.
Penelitian
ini berusaha menangkap potret pergumulan gereja-gereja di Indonesia yang sejak
Sidang Raya X DGI / PGI di Ambon tahun 1984, berkomitmen untuk “memasuki sejarah
bersama”. Jangka waktu tiga decade LDKG (atau kemudian menjadi DKG) memberi
banyak pelajaran bagi arak-arakan Oikumenis tersebut, sekaligus memberi kita
informasi persoalan-persoalan dasar yang harus dihadapi dalam menentukan arah
gerak oikumenis berikutnya. (Tim Peneliti Sutanto dkk, 2015, 78).
Berdasarkan
sejarah gereja diatas maka, saya berpendapat bahwa persoalan atau konflik
gereja dalam jemaat menjadi pegumulan tersediri untuk menjaga keutuhan gereja.
Namun dengan setiap persoalan atau konflik yang ada digereja harus mengevaluasi
diri. Dengan mengevaluasi diri maka gereja harus memperbaiki dengan tujuan
jemaat bertumbuh dan semakin mandiri dalam mengimani Kristus.
Aldag,
R. J. dan Stearns, T. M. (1987;415); Robbins, S. P. (1990) membagi transisi
pemikiran tentang konflik kedalam tiga fase yaitu, pandangan tradisional (traditional view of conflict), pandangan
hubungan manusia (human relations view of
conflict), pandangan interaksionis / pluralis (interactionism / pluralistic view of conflict). Pandangan
tradisional terjadi pada dasa warsa 1930 sampai tahun 1940 an. Pada waktu itu
konflik dipersepsikan sebagai peristiwa yang negatif dan identik dengan
kekacauan, destruktif dan dapat merugikan kelangsungan organisasi, karena itu
dicegah dan bila perlu ditiadakan.
Pandangan
tradisional konsisten terhadap sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku
kelompok sehingga mempunyai konotasi negative (disfungsional) sebagai dampak
dari komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan diantara anggota, dan pimpinan
tidak tanggap terhadap aspirasi dan kebutuhan para kariawan atau yang
menjalankan tugas aras yang paling bawah. (Wahyudi, 2011, 15. Cetakan ke IV)
Pandangan
diatas mengambarkan suatu keresahan tentang dominasi pemikiran dalam satu
pelayanan akan membawa dampak negatif dan dalam kondisi tertentu akan mengacam
kelangsungan pelayanan. Pandangan ini tidak ideal dalam satu pelayanan, akan
tetapi mendorong untuk menciptakan sistem yang memperlambat pertumbuhan suatu
pelayanan dalam jemaat. Bahkan lebih dari pada itu pandangan ini akan sangat
sulit menerima perubahan kearah yang lebih baik.
Pandangan
hubungan manusia berkeyakinan bahwa manusia merupakan faktor penentu dalam
pencapaian tujuan. Karena itu penghargaan dan perlakuan secara manusia serta
menciptakan iklim yang kondusif yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan. fase
pendekatan hubungan manusia berpangan bahwa konflik merupakan peristiwa yang
normal dalam interaksi individu atau kelompok dalam organisasi. Konflik sebagai
kejadian yang tidak dapat dihindari dan keberadaan konflik dapat memacu
dinamika organisasi. (Wahyudi, 2011, 15. Cetakan ke IV)
Pandangan
in sangat tepat dengan kondisi saat ini karena dengan konflik yang terjadi akan
merangsang paradigma seseorang untuk mencaritau dan menemukan jalan keluar.
Akan tetapi diperlukan sumber daya manusia dan hikmat untuk mengelolanya secara
baik, yang bertujuan untuk menciptakan dinamikan positif meskipun menurut
pangan orang lain negatif. Disini membutuhkan komitmen dan kemauan untuk tidak
dipengaruhi oleh apapun, namun hanya untuk kepentingan perubahan yang lebih
baik.
Pandangan
interaksionis atau pluralis berusaha menstimuli dan menciptakan konflik apabila
diketahui kelompok bersifat statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap
perubahan dan inovasi. Kontribusi dari pandangan ini adalah mendorong pemimpin
untuk mempertahankan suatu tingkat konflik yang optimal yang dapat menciptakan
inovasi, tenggap terhadap perubahan, kreatif dan cepat beradaptasi dan kristis
terhadap kegiatan internal organisasi dalam pelayanan kepada jemaat. (Wahyudi,
2011, 15. Cetakan ke IV)
Pandangan
ini dapat dijalankan apabila, dalam setiap sisi pelayanan yang dilakukan kepada
jemaat memiliki tingkat sumberdaya manusia yang baik, system organisasi gereja
yang akuntabel, transparan, mampu mengelola konflik secara tepat. Karena dalam
menciptakan konflik, kalau tidak di kemas secara baik maka berimplikasi pada
proses yang memberi dampak pada perpecahan. Konflik bisa saja terjadi dalam
organisasi gereja atau lembaganya, oleh karena itu dibutuhkan peran para
presbiter dalam menjalan tugas-tugas organisasi gereja. Tugas – tugas dalam
organisasi gereja terdapat dua jabatan inti Yaitu jabatan pelayanan dan jabatan
organisasi.
Pada
bagian ini, akan membahas tentang tugas, peran atau fungsi organisasi gereja
dalam pelayanan di jemaat yang secara kelembagaan memilik masalah yang
konfleks,; untuk itu akan dibahas tentang bagimana tugas, peran dan fungsinya
masing-masing.
2.5.Teori-teori
konflik
Menurut
Tourine dalam (2010:152) gerakan sosial mesti dipahami sebagai suatu tipe
khusus dari konflik social. Sebuah konflik terdapat actor-aktor yang
bertentangan atau bersaing serta sumber daya yang mereka perebutkan. Lebih
lanjut konflik melalui tahapan taruhan yang dianggap bernilai dihasratkan oleh
dua atau lebih pihak yang bertentangan melibatkan sekumpulan actor secara
terorganisir, taruhan nilai dan pergumulan / kompetensi untuk mencapai apa yang
dipertaruhkan. Secara harfiah didalam kamus oxford konflik dimaknai sebagai srious disagreement, serious difference of
opinion antara satu pihak dengan pihak lain (Hornby: 1995, 241).
Dalam
konflik yang penulis angkat merupakan fenomena yang diaktorkan oleh individu
atau kelompok manusia. Konflik dapat terjadi karena bisa saja di skenariokan
oleh kelompok intelektual untuk tujuan tertentu. Dalam pertikaian individu atau
kelompok pasti ada sebab dan akibat, sebab disini merujuk pada orang yang
merancang, mungkin melalui kekuasaan (soal kebijakan), atau soal kesalapahaman,
atau terbentur dengan perkembangan sosial yang ada karena berkaitan dengan
harkat dan martabat orang atau kelompok yang berkonflik. Untuk dapat
mempermudah pemahaman tentang konflik, sebab-sebab dan dampak, dapat penulis
tampilkan teori-teori konflik sebagai resep untuk mendapat konsep riset yang
akurat dan afektif, antara lain sebagai berikut:
a. Teori
Instingtifis
Teori
ini berbicara mengenai naluri manusia yang berperilaku baik dan buas, manusia
dalam kondisi tertentu bisa saja menjadi pemangsa yang amat buas terhadap
manusia yang lain. Perilaku seperti ini dapat kita mengerti seperti naluri
kebinatangan yang berada dalam diri manusia, yang sewaktu-waktu dapat berubah
menjadi makluk yang sangat buas. Insting juga dapat menjadi domain penting
dalam segala aktifitas manusia karena berpotensi pada perilaku yang muncul dari
manusia itu sendiri.[7][8]
b. Enviromenmentlis
dan Behavioris
Menurut
pemikiran teori ini bahwa perilaku manusia secara eksklusif diciptkan oleh
factor-faktor lingkugan yakni oleh masyarakat dan budaya – bukan oleh
factor-faktor “bawaan”. (Fromm Erich, 2000,33).
Pandangan
behavioristik mengenai agresi secara ringkas, mendefenisikan agresi sebagai
“respons yang memberi stimuli berbahaya kepada organism lain”. Ada 2 alasan
untuk menarik keluar konsep maksud dari agresi , pertama, konsep ini mengimplikasikan teleologi, tindakan yang
bertujuan yang terarah pada tujuan dimasa depan dan pandangan ini tidak sejalan
dengan pendekatan behavioral yang digunakan dalam buku ini. kedua dan yang lebih penting adalah
sulitnya menerapkan batasan ini pada peristiwa-peristiwa behavioral. Maksud
merupakan peristiwa pribadi yang mungkin atau mungkin tidak dapat diungkap
secara lisan atau diungkap secara akurat dalam pernyataan verbal.
Kita barangkali
telah terbina untuk meyakini bahwa maksud sangat dipengaruhi oleh riwayat
pembiasaan suatu organism. Jika respon agresif telah dibiasakan secara
sistematis dengan akibat tertentu, misalnya: dengan ancaman pembunuhan sang
korban akan melarikan diri, maka perulangan respon agresif tersebut boleh
dikata “maksud agar sang korban lari terbirit-birit”. Namun demikian, jenis
pengaruh ini tidak ada gunanya dalam analisis perilaku, akan lebih bermanfaat
bila mengkaji secara langsung hubungan antara riwayat pembiasaan suatu respon
agresif dengan situasi mendadak yang memicu respons tersebut. [9]
Maksud adalah sesuatu yang tidak
diperlukan dalam menganalisis perilaku agresif. Akan tetapi yang menjadi
persoalan penting adalah sifat konsekuensi pembiasaan yang mempengaruhi timbul
dan kuatnya respon-respon agresif. (Fromm Erich, 2000,346-47).
Sifat seperti ini sangat berbahaya
karena akan sangat dengan cepat merespons segala gejolak yang terjadi pada
lingkungan sekitar serta berpengaruh pada sikap cepat agresif menanggapi
sesuatu dengan sangat emosioanal. Hal ini akan membawa dampak pada perubahan
psikologi yang mendorong untuk berbuat tanpa berpikir terlebih dahulu dalam
arti akal sehat menjadi bagian terkahir.
c. Neurofisiologi
Livingston
dalam Erich Fromm, dalam observasinya mengenai hubungan antara psikologi dan
neurofisiolgi, titik temu akan dicapai antara psikologi dan neurofisiologi bila
sejumlah besar ilmuan telah memiliki dasar yang kuat dalam kedua disiplin
tersebut. Seberapa besar manfaat dan jaminan dari tercapainya suatu titik temu
masih perlu dikaji lebih lanjut. Meski demikian, telah didapati adanya wilayah
penelitian baru dimana para pakar perilaku dapat memanipulasi otak samping juga
lingkungan dan dimana para pakar otak dapat memanfaatkan konsep dan teknik
behavioral. Banyak upaya tradisional untuk mengidentikkan kedua bidang tersebut
yang berakhir sia-sia. Kita harus aktif meningggalkan kepicikan dan perseturuan
antara kedua disiplin ini. sebenarnya siapakah yang kita perangi? Tentunya
kebodohan dalam diri kita.
Meski
saat ini telah banyak kemajuan, sumber-sumber yang diperlukan untuk penelitian
dasar bidang psikologi dan neurofisiologi masih relatif sedikit.
Persoalan-persolan yang perlu segera diselesaikan justru sangat sulit dipahami,
pemahaman hanya dapat ditingkatkan melalui upaya kita memodifikasi
konsep-konsep terkini. Konsep-konsep ini pada gilirannya hanya akan dapat
diubah dengan upaya eksperimental dan teorik yang kaya akan sumber-sumber
(Fromm, 2000, 119).
d. Teori
hubungan masyarakat
Teori
ini mengatakan bahwa oleh polarisasi yang terus terjadi, termasuk didalam
terjadinya ketidak percayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda
dalam suatu organisasi. Sasaran yang ingin dicapai oleh profokator konflik
adalah menciptakan polarisasi antar personal dan kelompok organisasi serta
menciptakan situasi dan kondisi kesemrawutan dalam organisasi agar dapat
memberikan citra negative terhadap organisasi. Sebaliknya ancangan teori ini
dapat membantu kita menganalisis polarisasi antar personal dan kelompok,
merencanakan perbaikan kondisi kesemrauwutan dalam organisasi, serta
meningkatkan peranan humas organisasi untuk memperbaiki citra organisasi.
(Wahyudi 2011, 14)
Mencermati
teori diatas, maka sepakat dengan teori ini karena terdapat konsep resolusi yang
membangun dan untuk menciptakan pola pemecahan masalah yang untuk mendapatkan
nama baik dari suatu organisasi atau institusi. Hal ini akan sangat membantu
para anggota organisasi untuk terus melakukan peradaban pada semangat
organisasi, dengan tujuan mencapai misi dari organisasi tersebut.
e. Teori
negosiasi prinsip.
Teori
ini mengemukakan bahwa konflik dalam organisasi disebabkan oleh perbedaan
status dan posisi antara berbagai individu dan kelompok kerja dalam organisasi.
Termasuk dalam kategori ini perbedaan tanggapan terhadap posisi berbagai pihak
dalam organisasi ketika individu, kelompok kerja maupun organisasi berhadapan
dengan masalah organisasi. Bagi para provokator konflik, asumsi teoritis ini
dapat digunakan untuk merekayasa perbedaan-perbedaan prinsip untuk mendorong
terjadinya konflik dalam organisasi. Sebaliknya pendekatan dapat membimbing
kita untuk menganalisis dan mencari jalan keluar bagi setiap usaha yang
memanipulasi prinsip-prinsip tersebut diatas menjadi sumber konflik. (Liliweri
2014, 355 )
Dari pandangan
teori diatas, penulis tidak sepakat karena teori ini akan menciptakan suasana
kerja yang tidak efektif dan konflik akan terus terjadi sebuah organisasi.
Persoalan prinsip sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip organisasi.
Mengapa! Karena prinsip secara individu jangan dibawah kedalam organisasi
karena hanya akan menciptakan keegoisan dalam organisasi yang terus berdampak
pada keberlangsungan organisasi.
f. Teori
kebutuhan manusia
Teori
ini mengatakan bahwa dalam organisasi berakar dari perbedaan riil atas akses
setiap individu atau kelompok, ketika berusaha untuk mencapai atau memenuhi
kebutuhan dasar demi kehidupan anggota organisasi dalam masyarakat. Berbagai
kebutuhan manusia, seperti kebutuhan fisiologis, sosiologis, psikologis mungkin
tidak seluruhnya akan dipenuhi oleh seseorang hanya karena seseorang, termasuk
sebagai anggota sebuah organisai. Jika kesenjangan antara usaha untuk
memperoleh atau memenuhi kebutuhan itu mungkin besar, maka makin besar pula
peluang terjadinya konflik. (Wahyudi, 2011, 15)
Sependapat
dengan teori ini karena Para provokator konflik mengandalkan asumsi teoritis
ini untuk menciptakan konflik dengan menyebar isu-isu kesenjangan sosial,
kesulitan memperoleh akses, atau memperoleh kebutuhan hidup. Sebaliknya berdasarkan
teori ini, kita dapat menganalisis dan merencanakan untuk memenuhi kebutuhan
para anggota organisasi. Artinya kita dapat membantu pihak-pihak yang mengalami
konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan mencapai kesepakatan bersama
atas kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi agar dapat menghasilkan
pilihan-pilihan memenuhi kebutuhan itu.
g. Teori
identitas
Menurut
teori ini, konflik disebabkan karena adanya ancaman riil terhadap identitas
seseorang dalam organisasi, misalnya berusaha untuk mengurangi bahkan
menghilangkan identitas individu maupun kelompok dalam organisasi. Para
provokator konflik menggunakan analisis teoritis ini untuk menciptakan peluang
atau malah menganjurkan / menekan organisasi untuk mengurangi atau
menghilangkan identitas seseorang dalam organisasi. (Liliweri, 2014, 356)
Oleh
karena itu, Sebaliknya bagi kita teori ini harus dapat diaplikasikan
sebaik-baiknya karena melalui fasilitasi dialog antar pihak-pihak yang
mengalami konflik diharapkan akan dapat teridentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang dirasakan
masing-masing pihak sehingga terbangun empati dan rekonsiliasi diantara mereka;
dan meraih kesepakatan bersama demi pengakuan, penemuan kembali identitas pokok
yang telah pudar atau hilang.
h. Teori
Transformasi Konflik
Teori
ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak selarasan dan ketidak
adilan yang muncul sebagai masalah-masalah laten dalam kehidupan sosial, budaya
dan ekonomi yang dampaknya “dirasakan” juga oleh organisasi. Para provokator
konflik sering menciptakan konflik tentang ketidak mampuan organisasi untuk
memecahkan masalah-masalah ketidak seimbangan kehidupan sosial, kesenjangan sosial,
kesenjangan budaya, dan ekonomi untuk menciptakan konflik dalam organisasi.
Meskipun
demikian teori ini bermanfaat bagi kita agar dapat menyusun suatu strategi
untuk mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang dapat memecahkan
masalah ketidak setaraan dan ketidak adilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
menigkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang diantara pihak-pihak yang
mengalami konflik dan mengembangkan berbagai proses dalam sistem untuk
mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan
pengakuan.
i.
Teori kesalah pahaman antar budaya
Teori
ini berasumsi bahwa konflik disebakan oleh kesalahpahaman dalam tafsir simbolik
pesan antar budaya yang bersumber dari kurang atau tidak memahami hakikat
komunikasi antar budaya dan komukasi antar lintas budaya. Misalnya, perbedaan
etnik sebagai faktor munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, primordialisme,
etnosentrisme dalam oragnisasi yang menciptakan organisasi yang bersifat
etnokrasi. Meskipun demikian teori ini dapat digunakan untuk menambah
pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain,
mengurangi stereoptip negative yang mereka miliki tentang pihak lain dan
meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. (Liliweri, 2014, 356).[10][11]
2.6.
Hikmat sebagai resolusi konflik
Akhir-akhir
ini istilah resolusi konflik lebih marak digunakan daripada manajemen konflik.
Resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat
eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi terjadinya
konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik. Metode resolusi konflik
sangat membantu untuk mengetahui sifat dan fungsi konflik, membedakan bentuk
konflik produktif dengan deskruktif dan mengidentifikasi strategi dan resolusi
konflik. (Liliweri, 2014, 342, 343)[12]
Pandangan diatas mengambarkan
tahapan penyelesaian masalah, dan tahapan ini adalah cara yang umum dalam
penyelesaian konflik. Untuk mengetahui tahapan berhasil tidaknya resolusi maka
evaluasi menjadi alternatif untuk menjawab segala dinamika yang terjadi. Evaluasi
bertujuan untuk mengetahui perkembangan penyelesaian masalah. Bahkan dapat
menemukan cara baru dalam tahapan penanganan konflik berdasarkan jenis dan
tingkat kerumitan penyelesaian konflik.
a. Pengantar
resolusi konflik
Resolusi
konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental
dalam memahami sifat-sifat konflik, meniliti strategi terjadinya konflik,
kemudian membuat resolusi terhadap konflik. Resolusi konflik difokuskan pada
sumber dasar dari konflik antar dua pihak, agar mereka bersama-sama
mengidentifikasi isu-isu yang lebih nyata. Kalau dua pihak tidak setuju atau
isu yang sudah digariskan, maka kita membutuhkan negosiator.
Seorang
negosiator atau fasilitator itu penting ketika konflik makin luas dan tidak
dapat ditekan, karena sudah mengandung emosi dan ancaman. Konfrontasi positif
adalah teknik resolusi konflik ideal, yang melibatkan didalamnya kekuasaan dan
hati nurani. Konfrontasi positif meliputi resolusi tanpa kekerasan, menghindari
atau menjauhkan kekejaman serta menolak perasaan atau kepercayaan yang
berlebihan.[13][14]
Prinsip
umum resolusi konflik adalah don’t fight
– solve the problem (tidak menjauh dari masalah tetapi menyelesaikan
masalah). Oleh karena itu dalam semua pelatihan resolusi konflik, para peserta
diberikan dua keterampilan dan kemampuan untuk menjadi negosiator atau meditor
konflik yakni:
1. Keterampilan
atau kemampuan untuk berdiskusi atau berdialog, seperti keterampilan
berkomunikasi, keterampilan mendengarkan efektif, keterampilan menggali
kebutuhan yang menjadi sumber konflik, kemampuan untuk mempertemukan dua pihak
dan kemampuan untuk menekan timbulnya masalah berpihak.
2. Menjalankan
teladan pemecahan masalah seperti hadapi masalah, bukan orang: jelaskan apa
yang anda lihat, bagaimana pendapat anda dan bagaimana reaksi anda terhadap
orang atau situasi yang dilihat, rumuskan apa yang dilihat secara herbal,
mengerti benar perasaan dan perilaku anda, beralih dari pembenaran ke
pemecahan, melihat kedepan karena disana ada peluang daripada melihat
kebelakang untuk saling mempersalahkan, analisis situasi dan tekankan pandangan
anda dari dua sisi, identifikasi butir-butir tertentu dimana anda dapat
melakukan kompromi dan terbukalah pada setiap hasil yang positif.
b. Hikmat
dan resolusi
Hikmat
dalam perjanjian lama (umumnya dipakai khokhmah,
meskipun dipakai juga kata lain , ump: bina,’
Ayub 39: 20; tevuna,’ kebijakan’,
Mzm 136:5) senantiasa adalah praktis bukan teoritis. Pada dasarnya hikmat
adalah kepintaran mencapai hasil menyusun rencana yang benar untuk memperoleh
hasil yang dikehendaki. Tempat kedudukanya ialah hati , pusat keputusan moral
dan intelektual (bnd. 1 Raj 3:9, 12).
Hikmat
dalam arti utuh dan mutlak hanya milik Allah. Hikmat-Nya mencakup bukan hanya
sempurnanya dan lengkapnya pengetahuan-Nya mengenai setiap segi bidang
kehidupan. Tetapi juga mencakup kedaulatan-Nya menggenapi tuntas apa yang ada
dalam piran-Nya dan yang mustahil dapat digagalkan. Alam semesta dan manusia
adalah buah karya hikmat-Nya yang kreatif. Proses-proses alami dan historis
dibawah kendali Hikmat-Nya meliputi pebedaan sempurna antara baik dan jahat dan
merupakan dasar untuk pahala dan hukuman yang diperoleh orang benar dan orang
jahat.[15]
Hikmat
alkitabiah adalah sekaligus bersifat agamawi dan praktis,dan berasal dari’
Takut Kepada Tuhan. Hikmat berkembang menyentuh segenap hidup, seperti
ditunjukkan dan dijelaskan secara luas dalam Ams. Hikmat memperoleh pengetahuan
yang dikumpulkan dari pengetahuan tentang jalan-jalan Allah dan menerapkannya
dalam hidup sehari-hari.(Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, 2013, 391-392)
Pandangan
diatas dapat kita lihat pada kitab amsal 1 ayat 7 “ Takut akan Tuhan adalah
permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina Hikmat dan didikan”. Kutipan ayat ini menjadi dasar bahwa
untuk dapat mengelola konflik dengan baik maka dibutuhkan kecerdasan,
kepintaran untuk menyelesaikan konflik. Maksudnya bahwa dengan Takut akan
Tuhan, maka seseorang memiliki hikmat untuk menyelesaikan atau mengelola
konflik secara professional yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian.
c. Teologi
rekonsiliasi
Sebagai
orang-orang beriman harus menyadari bahwa pengampunan dan rekonsiliasi bukanlah
sesuatu yang secara otomatis bisa diperoleh. Hal ini bukanlah sesuatu yang
harganya murah karena pengampunan dan pengakuan harus didahului oleh sesuatu
yang ketiga, yaitu – perbuatan perbuatan yang merupakan isi pengakuan. Entah
perbuatan yang meninggalkan luka dan maut, perbuatan yang disertai kebencian,
kerusakan dan kerusuhan, perbuatan yang mala terlalu sering dilakukan dengan
tidak memperlihatkan sedikitpun penghargaan atau penghormatan manusia terhadap
korban perbuatan itu. Karena itu diantara pengakuan dan pengampunan ada sesuatu
yang mengambil sikap terhadap perbuatan yang mendahului dan menyebabkan semua
masalah. (Schumann Hertbert Olaf, cetakan ke- 2, 2015, 476-477).[16]
Dari pandangan diatas, mengambarkan
bahwa rekonsiliasi bukan hal mudah, seperti halnya pengorbanan Yesus diatas
kayu salib yang mengorbankan nyawa-Nya untuk menebus dosa manusia. Yesus
menunjukkan contoh rekonsiliasi yang berhasil dilakukan dengan sempurna karena
Dia menjadi sang mediator yang berhasil mendamaikan Allah dengan manusia dan
menebus dosa manusia serta melakukan penyelamatan yang sempurna.[17]
Gereja
mendefenisikankan misinya dalam kaitannya dengan Allah Tritunggal. Gereja
mengakui keterkaitannya dengan setiap pribadi Allah dalam mengerjakan
keselamatan dan dalam kehidupannya sendiri gereja merangkul persekutuan dan
keragaman yang diekspresikan dalam Ketuhanan. Pelayanan misi tidak
diprivatisasi atau diindividualisasi. (Gibbs Edsie, 2012, 90)
Gereja
dalam menjalankan misinya tidak dipengaruhi oleh kepentingan golongan atau
kelompok, karena gereja menempatkan fungsi sebagai penyambung atau alat dalam
menyatakan karya Allah. Gereja membawa misi besar untuk memberikan terang
kepada semua orang tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Gereja harus
menjangkau dengan sikap kasih yang tanpa syarat. Gereja tidak hanya harus
menjangkau orang-orang dimanapun mereka berada tetapi juga menerima mereka
sebagaimana adanya mereka. Namun, sikap seperti ini jangan ditafsirkan sebagai
sikap toleransi terhadap gaya hidup yang mungkin obsesif atau merusak diri.
Sikap inklusif selalu mempunyai pandangan kearah transformasi karena berita
injil menghadirkan pembebasan dan pemberdayaan.
Komitmen gereja pada transformasi tidak
terbatas pada individu tetapi lebih luas lagi sampai menjangkau komunitas
geografis dimana gereja ditempat dan jaringan non geografis dimana gereja
terlibat. Gereja-gereja misional menyadari bahwa mereka menghadirkan
tanda-tanda sekaligus merupakan hamba dari pemerintahan Allah. Namun, mereka
sendiri dalam proses sedang menjadi, mereka adalah tanda-tanda ambigu dan
hamba-hamba yang tidak layak. Ketika menarik orang-orang pada kerajaan Allah,
gereja yang misional harus selalu menunjuk melampaui dirinya sendiri. (Gibbs
Edsie, 2012, 90)
Hal
ini merupakan sikap dan fungsi gereja yang menyadari akan keberadaanya sebagai
karya Allah yang terus memberdayakan diri untuk mendapatkan penyertaan Allah.
Gereja tanpa penyertaan Allah adalah Mati. Mati dalam arti rohani, gereja
tersebut tidak akan bertahan lama. Oleh karenanya gereja harus benar
memberdayakan dirinya untuk memberikan transformasi iman yang terus bertumbuh.
Tujuannya adalah supaya gereja dapat mengimbangi kemajuan teknologi dan tidak
mendekradasikan iman jemaat di masa kini dan masa yang akan datang.
Keselamatan tidak ada
dalam siapanpun juga selain didalam Dia, sebab dibawah kolong langit ini tidak
ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan (kisah para rasul 4:12). Ketika nama yang dimaksudkan disini juga
disebutkan kita mendapatkan kartu pengenal agama Kristen: Yesus dari Nasaret
(10). Keduanya berkaitan erat Yesus yang dilahirkan entah dimana (di
Betlehemkah? Di Nasaretkah?), yang dihukum mati dan dibunuh dikayu salib oleh
penguasa oleh penguasa Romawi di kota Yerusalem sebagai seorang manusia yang
biasa dan dikenal banyak orang pada masa-Nya. Dan sekaligus juga Kristus, gelar
Yahudi bagi suatu pribadi yang menurut mereka akan menyelamatkan mereka dari
kuasa penindasan asing dibumi ini. Sementara orang yahudi masih tetap menunggu
kedatangan sang Kristus (Meshiah,
Mesias), orang Kristen mengganggap sosok itu sudah datang dalam diri Yesus,
dank arena itulah mereka memberikan gelar itu kepada-Nya. Kemudia, mereka
dikenal sebagai umat yang mengikuti contoh hidup dan ajaran Yesus Kristus itu.
Dalam paham Yahudi waktu itu, mereka mengikuti Kristus, “jalan”-Nya, sehingga
mereka disebut “Christianoi”,
pengikut Kristus (Kisah para rasul 11:26). (Schumann, 2015, 453. Cetakan ke
2)
Kedatangan Yesus kedunia
adalah untuk mendamaikan manusia dengan Allah sehingga tidak ada lagi jurang
pemisah antara manusia dengan Allah yang disebabkan oleh dosa. Dari kisah Yesus
dapat dipelajari bahwa manusia telah membangun kesalahan dan berkonflik dengan
diri sendiri dan Allah dalam dunia. Sehingga Allah mengadakan perubahan dengan
cara menebus dosa manusia untuk diperdamai kan dengan Allah. Hal ini tentunya
merupakan contoh pengorbanan untuk menyelesaikan segala konflik yang terjadi
dalam dunia.
Oleh karena itu Yesus menggunakan banyak cara
dalam menyelesaikan segala konflik yang ada dan yang dihadapi oleh manusia
dengan beberapa langkah-langkah diantaranya: membangun kembali manusia yang
telah rusak oleh dosa, membekali dengan iman dan berperang melawan kuasa
kegelapan. Dari contoh langkah-langkah sederhana ini dapat kita pahami bahwa
Yesus memiliki cara yang unik dalam meyelesaikan konflik meskipun Ia di cobai
oleh ahli-ahli taurat bahkan iblis namun Ia mampu meyelesaikannya dengan
tenang, sabar, mura hati dan tetap terlihat tidak takut. Ini menunjukkan bahwa
Yesus berhasil menggunakan cara-cara ini untuk mendamaikan manusia dengan
Allah. Gereja sebagai alat dalam memberitakan injil harus tetap tenang, sabar,
mura hati dan terlihat tidak takut seperti yang di buat oleh Yesus. Mengapa?
Karena gereja saat ini mengalami banyak sekali hambatan, tantangan, masalah
bahkan konflik. Sehingga gereja perlu bertindak secara cepat untuk
menyelesaikan masalanya.
Untuk
itu gereja dalam sistem kelembagaan dan pelayanan memiliki kepala yaitu “Yesus
Kristus” dan gereja tidak bergantung pada organisasi manapun. Gereja adalah
independen yang dapat memberikan jalan kebenaran sehingga gereja dapat
dikatakan sebagai berikut:
a.
Tiap-tiap Gereja Adalah Otonom
Kalau kita berbicara hak otonomi
gereja berarti setiap gereja itu berdiri sendiri, tidak pernah di bawah kuasa
gereja manapun seperti yang dilakukan oleh sebagian denominasi. Pada abad
pertama di dalam kitab Kisah Para Rasul kita dapat menemukan bahwa setiap
gereja itu adalah independent (berdiri sendiri). Gereja di Yerusalem tidak
memiliki kuasa atas gereja di Roma dan gereja di Efesus tidak memiliki kuasa
atas gereja di Galatia, masing-masing gereja adalah berdiri sendiri.
Orang-orang yang berada di luar gereja (orang yang bukan anggota gereja) tidak
memiliki kuasa atas gereja. Baik pemerintah maupun penatua adat atau Pembimas
(Depag) tidak memiliki hak dalam gereja.
Para penatua dan diakon dalam satu
jemaat tidak memiliki kuasa untuk mengatur jemaat lain. Mereka
(penatua-penatua) hanya memiliki wewenang di jemaat lokal yang mengangkat
mereka menjadi penatua. Namun sesama gereja lokal memiliki tali persekutuan
yang kuat dan bersatu sejauh mana gereja itu masih tetap mengikuti ajaran
Kristus (Perjanjian Baru). Karena jaminan bagi gereja-gereja untuk tetap
bersekutu satu sama lain adalah ajaran yang diikuti gereja-gereja tersebut.
Gereja-gereja yang mengikuti ajaran
Kristus sekalipun mereka tidak saling kenal atau tidak saling mengetahui, namun
mengikuti doktrin (ajaran) Perjanian Baru, gereja-gereja itu adalah tetap satu
dan dapat bekerja sama untuk kemajuan jemaat-jemaat seperti; mengadakan retret
bersama, saling bertukar pikiran, saling mendukung satu sama lain. Meskipun
jemaat-jemaat di Kota Kupang misalnya saling mendukung kegiatan jemaat-jemaat
tetapi tetap saling menghormati hak otonomi jemaat-jemaat Yang ada di tempat
lain. Memang kadang-kadang sesama pemimpin-pemimpin jemaat sering sharing atau
saling bertukar pengalaman dalam menghadapi masalah-masalah di jemaat
masing-masing namun keputusan tetap di tangan pemimpin jemaat yang
bersangkutan.
Sebagai contoh jemaat Imanuel Kolhua
tidak berhak membuat keputusan untuk jemaat Paulus dan sebaliknya, jemaat
Koinonia tidak berhak untuk membuat keputusan untuk mata jemaat Ebenhaezer
Iungboken dan sebaliknya. Gereja Perjanjian Baru yang dibangun oleh Kristus
adalah gereja yang menghormati hak otonom jemaat lokal, karena itulah yang
berkenan kepada Kristus sebagai pemilik gereja.
b.
Setiap Gereja Memiliki Para Penatua
Keanekaragaman dalam
bentuk organisasi jemaat-jemaat pertama juga nyata dalam tulisan-tulisan
perjanjian baru. Jemaat yang dipengaruhi oleh Yohanes belum ada “tata gereja”,
sebab ternyata seorang penatua (2 Yoh. 1;3 Yoh. 1) yang menentukan segala
sesuatu. Jemaat Paulus kita menemukan berbagai-bagai petugas, diantaranya
Penilik (episkopos = Uskup), penatua.
(prebyteros) dan diakonos (syamas, diaken = pelayan). (Jonge dan
Aritonang, 2015, 7. Cetakan ke – 9).
Dari gambaran diatas Roh Kudus
dengan jelas menetapkan para penatua tiap-tiap jemaat pada abad pertama melalui
syarat-syarat menjadi seorang penatua secara rinci. Dan setiap gereja Tuhan
harus mengikuti syarat-syarat tersebut di atas. Para penatua di tiap-tiap
jemaat bukanlah ditetapkan oleh manusia melainkan oleh Roh Kudus (Kisah Rasul
20:28).
Apakah Tugas Para Penatua itu?
Perjanjian Baru sebagai pola gereja Perjanjian Baru dengan jelas menyebutkan
tugas-tugas para penatua antara lain:
1. Menjaga diri sendiri dan menjaga
kawanan dan anggota jemaat (Kisah Rasul 20:28).
2. Menggembalakan jemaat itu (Kisah
Rasul 20:28). Berdasarkan ayat ini kita dapat mengambil keputusan bahwa gembala
jemaat adalah para penatua bukan pendeta atau penginjil seperti yang dikatakan
oleh denominasi.
3. Membantu yang lemah (Kisah Rasul
20:35). Adalah wewenang para penatua untuk mengkoordinir bantuan kepada
orang-orang yang lemah dalam jemaat manapun di luar jemaat. Para penatua harus
mengenal baik anggota jemaat itu.
4. Membangun anggota jemaat dengan
ajaran sehat (Titus 1:4). Para penatua harus memahami ajaran yang ditetapkan
dalam jemaat oleh para guru-guru di jemaat.
5. Meyakinkan penentang-penentangnya
(Titus 1:9). Para penatua harus berusaha untuk menuntun orang-orang yang
membengkang ke jalan yang benar dengan penuh perhatian dan panjang sabar.
6.
Menegur
orang-orang yang hidupnya tidak tertib (1 Tesalonika 5:14). Pekerjaan
menunjukkan kepada kita bagaimana para penatua itu harus cermat dan penuh
perhatian untuk mengawasi dan mengamati kehidupan anggota jemaat.
7.
Menghibur
mereka yang tawar hati (1 Tesalonika 5:14). Para penatua yang berkewajiban
menghibur anggota jemaat yang tawar hati karena keadaan atau tersandung atas
perbuatan saudara-saudara yang lain.
8.
Bersabar
terhadap semua orang (1 Tessalonika 5:14). Para penatua adalah orang-orang yang
sangat sabar terhadap berbagai prilaku (sikap) orang-orang yang dibimbingnya
maupun orang lain yang bukan anggota jemaat
9.
Harus
menjadi contoh kepada anggota jemaat di berbagai hal (1 Petrus 5:2,3).
Mengunjungi orang yang sakit (Yakobus 5:14).
10.
Mengawasi
jiwa-jiwa anggota jemaat (Ibrani 13:17). Para penatua bertanggung-jawab untuk
memperhatikan kerohanian anggota jemaat yang dilayaninya. Berdasarkan
tugas-tugas para penatua ini, kita menyadari mengapa Allah menetapkan
syarat-syarat menjadi seorang penatua, karena pekerjaan seorang penatua
membutuhkan dedikasi yang tinggi seperti dedikasi yang telah dilakukan oleh
Yesus Kristus sebagai Gembala yang Agung.
c.
Setiap Gereja Perjanjian Baru Dewasa Harus Memiliki
Diakon-diakon
Tugas para diakon tidak sejelas tugas-tugas
para penatua, tetapi tanpa ragu-ragu kita mengetahui bahwa para diakon juga
sama dengan para penatua adalah para pelayan dalam gereja. Di dalam Kisah Rasul
6:1-6, kita dapat melihat pengangkatan 7 diakon untuk jemaat di Yerusalem
sebagai pelayan meja. Diakon dalam bahasa Yunani ditujukan kepada pelayan dalam
bahasa Indonesia. Kalau penatua artinya pengawas atau pengatur maka diakon
berarti pelayan.
Jadi berdasarkan pekerjaan kedua
pelayan jemaat ini, kita tahu bahwa baik penatua maupun diakon tidak dapat
dipisah satu sama lain. Walaupun dalam Kisah Rasul 6:3 tidak begitu banyak
ditulisakan syarat-syarat menjadi seorang diakon, tetapi saya percaya bahwa
syarat-syarat menjadi seorang penatua juga adalah merupakan gambaran yang dapat
membantu kita untuk seorang diakon kalau kita mau jujur syarat-syarat menjadi
seorang penatua juga adalah merupakan ciri khas kehidupan orang Kristen yang
harus dilakukan oleh semua anggota jemaat. Hanya beberapa saja dari
syarat-syarat penatua itu yang tidak mengikat orang Kristen seperti:
1. Seorang yang baru bertobat (1
Timotius 1:6)
2. Anak-anaknya hidup beriman (Titus
1:6).
Jadi, baik penatua maupun diakon
adalah orang-orang berdedikasi tinggi terhadap gereja, karena mereka inilah
penatua bagi jemaat. Jadi organisasi jemaat (gereja) itu adalah terdiri dari;
Kristus sebagai Kepala gereja, Penatua sebagai pengawas gereja, Diakon sebagai
pelayan meja di gereja, Penginjil sebagai pemberita injil di gereja, Anggota
jemaat sebagai orang-orang yang dibina dalam gereja.
Dari pandangan tentang gereja, saya
berpandangan bahwa meskipun desain organisasi dan aturan yang di buat dalam
organisasi sudah memadai, namun konflik merupakan kondisi yang harus terus
dipelajari. Oleh karenanya konflik dalam organisasi gereja atau pelayanan
kepada jemaat membutuhkan hikmat atau kearifan untuk mencegah konflik-konflik
yang terjadi.
Dengan segala tugas yang di emban oleh
para pelayan gereja, maka telah menjadi keharusan untuk setiap ajaran gereja
tentang Firman Allah dijadikan sebagai rekonsialiasi untuk mencapai resolusi
dalam rangka menciptakan kehidupan yang lebih baik dalam jemaat. Hal ini dapat
kita pelajari dari diri Yesus Kristus yang rela mengorbankan nyawa-Nya atas
segala dosa yang dibuat oleh manusia. [18]
Secara teologi, cerita kematian Yesus menjadi
resolusi bagi umat manusia yang terus berkonflik dengan dosa dan menjadi hamba
dari dosa. Oleh karena itu Allah berinkarnasi menjadi daging untuk menjadi
manusia, dengan tujuan agar Allah dapat bertemu langsung dengan manusia supaya
manusia menjadi percaya bahwa Allah adalah penolong yang setia.
d. Gereja
dan Rekonsiliasi
Tidak
dapat disangkal, bahwa didalam hidup sehari-hari kita dihadapkan dengan gereja
sebagai lembaga, sebagai organisasi, dengan segala kesibukannya: kebaktian hari
minggu, katekasasi, penyelidikan alkitab, komisi-komisi sekolah minggu, remaja,
pemuda, wanita dan juga dewan gerejanya baik yang setempat maupun yang
sewilayah atau yang bersifat nasional dan internasional dan lain sebagainya. (Hadiwijono,
2007, 390)
Gereja
diperhadapkan dengan kenyataan bahwa setiap aktifitasnya telah diperhadapkan
dengan organisasi yang mengisyaratkan model tersendiri dan lain dari organisasi
sosial atau pemerintahan. Dalam menjalankan programnya tentu tidak terlepas
dari tujuan dan tugas gereja untuk mewartakan injil kebenaran Allah. Dalam
gereja sendiri terdapat jabatan-jabatan secara organisasi dan jabatan-jabatan
pelayanan.
Karena
itu Organisasi Gereja adalah institusi atau badan yang berasal dari Allah yang
diatur berdasarkan konsep Illahi. Karena itu gereja adalah badan surgawi yang
turun ke dunia sebagi wadah calon-calon penghuni surga. Gereja bukanlah buah
pikiran manusia karena itu manusia tidak memiliki wewenang untuk mengatur atau
merubah organisasi gereja. Gereja didirikan oleh Yesus Kristus pada Hari
Pentakosta dalam Kitab Kejadian 2 untuk menggenapi nubuatnya dari Matius 16:18,
“Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini
Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”
Berdasarkan
ayat yang di atas kita memiliki pengertian bahwa gereja itu adalah milik
Kristus karena ada kataKu. Dalam bahasa Indonesia kita mengetahui kata “Ku”
kata ganti empunya. Karena Kristus yang mimiliki gereja itu, maka Kristus-lah
yang berhak mengatur organisasinya, bukan manusia.
Yang
pertama dapat diamati dalam perkembangan gereja pada abad-abad pertama adalah
institusionalisasi (pelembagaan). Institusionalisasi merupakan gejala biasa
yang dapat dilihat pada semua kelompok yang mengkosolidasikan diri, sehingga
tidak perlu dianggap suatu kejatuhan gereja dalam dosa. Institusionalisasi
gereja menjadi Nampak dari keseragaman yang diciptakan dalam tata gereja. Dalam
tata gereja yang sekitar tahun seratus mulai diterima dimana-mana, setiap
jemaat dipimpin oleh satu uskup saja, yang dipilih dari dan disertai oleh
majelis, para presbyteros yang dibantu oleh diakonos.
Sekaligus peranan uskup semakin ditonjolkan sampai uskup dianggap lebih tinggi
dari presbyteros, dan keduanya lebih
tinggi dari diakonos. Demikian lah
jabatan-jabtan mulai merupakan suatu jabatan hierarki, susunan pangkat dari
atas kebawah, tata gereja ini disebut episkopal dan masih dipakai oleh
digereja-gereja ortodoks timur, gereja katolik roma dan beberapa gereja
protestan ,gereja anglikan, gereja metodis. (Jonge dan Aritonang, 2015, 8.
Cetakan ke – 9).
Gereja
sebagai lembaga merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena dari sejarah
gereja, terdapat susunan kelembagaan yang mendukung pelayanan gereja dalam
mencapai tujuan mulia. Gereja dalam pelayanannya terus berkembang, dan
membangun iman jemaat dengan fungsi kelembagaannya yang mengikat dalam gereja
untuk menjaga kedisiplinan yang bermuara pada ketulusan untuk melayani. Untuk
itu gereja membuat jabatan-jabatan untuk mempermudah dan membantu pelayanan
dengan beberapa presbiter. Presbiter tentunya memiliki tugas mulia, sehingga
orang yang dipilih adalah orang yang dianggap mampu dan memiliki jiwa pelayanan
yang sungguh dan integritas diri yang baik.Yang kedua yang dapat diamati adalah
gejala bahwa gereja sendiri menjadi, lebih dari dahulu, pokok refeleksi
teologis. (Jonge dan Aritonang, 2015, 9. Cetakan ke – 9).
Dari
gambaran diatas maka gereja sebenarnya mengalami pergeseran dalam pokok
refleksi teologis. Mengapa? Karena orang – orang Kristen masa kini merasa diri
satu karena iman bersama dalam diri Yesus Kristus. Namun gereja seharusnya
menjadi pengikat antar semua orang Kristen karena mereka yang menerima Kristus
sebagai Juruselamat menyadari bahwa melalui baptisan mereka telah memasuki
suatu persekutuan keselamatan yang khusus yaitu gereja yang tersebar diseluruh
dunia.
Gereja
memiliki dua keterangan yang membedakan yaitu gereja yang tampak dan gereja
yang tidak tampak, atau gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan.
Gereja yang kelihatan adalah persekutuan orang yang percaya kepada Yesus
Kristus yang berhimpun dalam waktu dan tempat tertentu secara nyata, sedangkan
gereja yang tidak kelihatan adalah persekutuan yang percaya kepada Yesus
Kristus sepanjang masa dan diseluruh dunia. (Agustinus, 2007, 382)
Dari
pikiran diatas, dapat kita katakan bahwa gereja yang kelihatan dan yang tidak
kelihatan sama-sama berbicara tentang persekutuan orang-orang yang percaya
kepada Yesus. Hal ini dapat dipahami sebagai organisasi yang menjalankan misi
Allah dengan tujuan yang mulia.
Lantaran
kecewa tentang keadaan gereja kita maka di dalam ilmu teologi sudah timbul
pemisahan antara gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan.
(Niftrik dan Boland, 2013, 352)
Gereja
yang kelihatan dan yang tidak kelihatan tentunya memiliki makna dan arti yang
berbeda, kebanyakan orang berpendapat bahwa gereja yang kelihatan adalah
orang-orang dan gedung gereja, yang tidak kelihatan adalah iman percaya. Saya
berpendapat bahwa gereja yang kelihatan adalah dalam bentuk aksi nyata yang
memberi hal positif dan sebelumnya diprogramkan dalam bidang atau unit dalam
organisasi gereja. Gereja yang tidak kelihatan adalah soal pengakuan iman
percaya kepada Yesus Kristus.
Jika seseorang bersaksi tentang Kristus, dia
hanya memerlukan organisasi atau struktur yang sangat kecil bagi kesaksiannya.
Selain harus mengetahui tujuan kesaksiannya, segala keperluan lain datang
dengan sendirinya. Apa yang di pikirkan, dikatakan dan dilakukan menjadi
kesaksian tentang apa yang dia imani didalam Yesus. Bersaksi tidak lagi menjadi
tindakan individu yang bebas tetapi telah menjadi kombinasi tindakan atau
lebih. Oleh karena itu timbul kebutuhan akan organisasi dan trusktur untuk
menjawab kebutuhan pelayanan dijemaat. (Walz 2006, 63).
Gereja
sebagai organisasi pelayanan, dengan misinya menjalankan pekerjaan Allah, tidak
dapat pungkiri juga bahwa dalam eksistensinya konflik selalu menjadi bagian
yang hampir di jumpai setiap hari. Oleh karena nya sinode GMIT, sebagai lembaga
gereja dengan tata aturannya untuk mengaturpun masih banyak konflik atau
masalah yang dihadapi dan banyak juga yang belum terselesaikan.
Tata
Gereja Masehi Injili Di Timor (Majelis Sinode GMIT, BAB IV Pasal 9) Tentang
Organisasi dan manajemen pelayanan. Pasal 9, Organisasi GMIT berfungsi untuk
menghimpun dan memberdayakan talenta yang dikaruniakan Tuhan kepada GMIT,
sehingga bermanfaat bagi bangunan dirinya sebagai Tubuh Kristus demi
pelaksanaan amanat Kerasulannya.
Dengan
fungsi organisasi, GMIT memberdayakan, menghimpun dan mengelola gereja untuk
menjawab pelayanan di tingkat jemaat, dengan Azas kerja pasal 10 ayat 1. Azas
kerja GMIT adalah Presbiterial – sinodal yang menjunjung tinggi unsure
kemajelisan, kebersamaan, kesetaraan dalam permusyawaratan.
Hal
ini menunjukkan bahwa cara kerja GMIT memiliki struktur yang dapat
berkoordinasi dengan mengutamakan unsur kemajelisan, kebersamaan, kesetaraan
dan permusyawaratan. Dalam kordinasi membutuhkan system organisasi yang kuat,
mandiri, dan akuntabel. Tujuannya adalah untuk menjaga Azas kerja yang
mengutamakan system bersama. Karena dengan organisasi, gereja dapat menemukan
pola yang baik untuk mengola jemaat, karena setiap struktur dalam organisasi
pasti terdapat uraian tugas untuk menjawab segala pelayanan kepada jemaat.
Sejauh
mana kompleksitas struktur yang diperlukan tergantung pada banyak faktor dan
biasanya truktur organisasi gereja segera berkembang tanpa upaya yang sengaja
dilakukan. Dan struktur organisasi gereja menjadi lebih rinci dan kompleks. (Walz,
2006, 64)
Dari
pandangan diatas dapat kita pahami bahwa gereja secara organisasi diperlukan
untuk menjawab kebutuhan gereja dalam melakukan pelayana secara rinci dan
efektif dalam pelayanan kepada jemaat. Baik itu jemaat yang kecil atau jemaat
yang dalam jumlah banyak. Organisasi gereja akan dipakai sebagai alat yang
disesuikan dengan kebutuhan gereja. Dan Strukturnyapun didesain sesuai visi /
misi gereja sehingga tidak mengganggu kebutuhan pelayanan.
Gereja
dalam jumlah yang kecil antara (200 anggota atau kurang) biasanya berfungsi
baik dengan struktur organisasi informal. Mereka seperti sebuah keluarga,
peraturan cenderung diterima apa adanya setiap orang tahu apa yang harus
dilakukan.
Gereja
dalam jumlah sedang ( 200 orang sampai 400 orang) menghadapi kesulitan dengan
struktur organisasi informal. Beberapa orang cenderung meniru tindakan orang
lain. Beberapa orang lainnya cenderung menanggung beban yang terlalu berat,
sementara yang lainnya tidak melakukan apapun. Pada waktu yang bersamaan
ditengah kebingungan beberapa kegiatan penting bahkan tidak dapat diselesaikan
sama sekali.
Gereja
dalam jumlah besar atau banyak (lebih dari 400 anggota) memerlukan struktur
organisasi yang lebih formal dan kompleks. Lebih banyak orang yang perlu
terlibat dalam kegiatan gereja. Dengan betambanya jumlah pekerja akibat
meningkatnya kegiatan, meningkat juga kebutuhan pernyataan kebijakan, pedoman
organisasi serta struktur manajemen. (Walz, 2006, 64)
Oleh
karena itu saya berpandangan bahwa ketika gereja dengan jumlah yang kecil, maka
orang yang menyusun rencana juga merupakan orang yang akan mengerjakannya.
Namun ketika jumlah anggota gereja semakin banyak maka orang yang bekerja belum
tentu sama dengan orang yang merencanakan atau pemimpin. Namun gereja dalam
kenyataannya ketika mengalami pertumbuhan jemaat yang banyak maka diperlukan
pemekaran dengan tujuan menjaga stabilitas pelayanan organisasi gereja dan
mendekatkan pelayanan.
Perjanjian Baru menguraikan model gereja di
Yerusalem dengan para pemimpin apostolic yang di bawah tekanan tanggungjawab
administrasi, menunjuk diaken untuk membantu pengelolaan. Paulus menghadapi
persoalan kepememimpinan gereja local dengan keberadaan gereja di Korintus,
Efesus dan Filipi. (Walz, 2006, 3)
Berbagai contoh dalam alkitab
menunjukkan bahwa tindakan umat Allah memberikan perhatian pada struktur,
system dan manajemen. Allah tidak mengatakan kepada gereja bagaimana harus
mendirikan system mereka namun Dia meminta mereka untuk “ melakukan segala
sesuatu dengan baik dan teratur”. Pernyataan ini merupakan landasan dimana
gereja harus mampu mengatur dan mengelola pelayanan secara terartur guna
menciptakan keutuhan jemaat. Untuk menciptakan keutuhan jemaat maka struktur
organisasi gereja menjadi penting untuk dikelola dalam mencegah segala
kepentingan diluar pelayanan. Karena pelayanan merupakan titik puncak gereja
menumbuhkan iman jemaat, dan jemaat akan selalu terhindar dari segala konflik
kepentingan yang terjadi. Seperti contoh jemaat di Imanuel Kolhua yang
merupakan jemaat pinggiran kota namun memiliki perkembangan yang baik, namun
perlu pembekalan pemahaman organisasi yang baik guna menunjang pelayanan dalam
menghadapi jemaat yang semakin besar.
Konflik bisa saja dapat terjadi karena
system yang dibangun dalam struktur organisasi gereja terlalu rumit untuk
dipahami. Untuk mencegah konflik didalam jemaat maka diperlukan sumberdaya
manusia yang baik dalam menjalankan struktur organisasi gereja, sehingga
mencegah konflik truktural dalam organisasi gereja.
2.7.
Hikmat sebagai pemecah konflik
1. Negosiasi
Negosiasi
merupakan satu proses yang melibatkan dua atau tiga pihak untuk merundingkan
beberapa pilihan pendapat yang menjadi sumber konflik untuk mencapai suatu
persetujuan bersama yang saling menguntungkan dua pihak (Liliweri 2014, 348)
Pandangan ini
merupakan bagian penting dalam penyelesaian konfli, mengapa!karena negosiasi
merupakan cara Hikmat untuk mencapai resolusi konflik tanpa kekerasan.
Negosiasi juga menjadi jalan terbaik menuju perdamaian yang tidak merugikan
pihak-pihak yang berkonflik. Akan tetap Yang harus diperhatikan sang negosiator
harus benar-benar netral dalam melakukan pendekatan baik secarandividu maupun
kelompok dan cara-cara ini diharapkan mampu menyelesaikan konflik yang terjadi.
2. Mediasi
Mediasi
adalah proses dimana pihak ketiga disepakati membantu memecahkan sengketa
pertengkaran dan konflik antara dua pihak melalui sebuah perencanaan atau
transaksi. Pihak ketiga ini tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa dua pihak
untuk mengikuti solusi yang di tawarkan (LeBaron Duryea dan Gurndison, 1993).
Para mediator menggunakan beberapa variasi proses mediasi.
Medasi
merupakan bentuk penyelesaian konflik yang mencoba menawarkan kemenangan yang
sedapat mungkin di peroleh oleh pihak-pihak yang bertikai. Selain itu, mediasi
merupakan langkah untuk menemukan kepentingan semua pihak yang dapat
dirundingkan untuk memperoleh kesatuan pandangan atau keputusan yang baik.
Mediasi menggambarkan pula pengetahuan dasar dan keterampilan yang dimiliki
oleh seseorang yang mendukung prosesnya. (Liliweri 2014, 349)
Mediasi
merupakan cara yang baik namun membutuhkan langkah konkrit yang harsus
melibatkan banyak pihak, tujuannya adalah untuk menjaga sitausi supaya tetap
aman dan terkendali karna proses ini merupakan proses terbuka sehingga perlu
memperhatikan aspek-aspek seperti tekanan psikologi, mental dan paradigm.
3. Rekonsiliasi
Rekonsiliasi
adalah usaha yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk meninjau atau melakukan
kembali kegiatan konsiliasi yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang
bersengketa.
Dengan
dilakukannya rekonsialisi dharapkan akan terjadi kesepatan yang tidak
berubah-ubah karena akan mengganggu kelancaran mediasi. Rekonsiliasi harus
berjalan baik sesuai dengan resolusi untuk menghindari terjadi fitback yang
mengakibatkan kedua kelompok menjadi ego untuk bertemu. Rekonsiliator harus
cerdas dalam memberikan konsep-konsep atau materi-materi pembicaraan bagi kedua
kelompok. Hal ini bertujuan untuk mencapai kesepakan yang baik tanpa menghadiri
ego dalam menemukan resolusi konflik. Sehingga pada saat mediasi terjadi saling
terima kesalahan untuk mencari solusi yang tetap, tanpa mengorbankan
pihak-pihak yang bersengketa.[19]
Sebab
itu kami tidak lagi menilai seorang juga menurut ukuran manusia. Dan jika kami
pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia sekarang kami tidak lagi
menilainya demikian. Jadi siapa yang ada dalam kristus ia adalah ciptaan baru
yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Dan semuanya ini
dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya
dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami. Sebab Allah
telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dan tidak memperhitungkan
pelagaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.[20]
(Duta Wacana 1999, 1)
Pandangan
berdasarkan kutipan 2 Korintus ini menunjukkan bahwa segala sesuatu berasal
dari Tuhan. Hikmat Allah menjadi menjadi satu-satunya jalan untuk rekonsiliasi
yang dilakukan oleh Yesus sebagai Sang Mediator yang memperdamaikan manusia
dengan Allah. Allah telah membuat rekonsiliasi terlebih dahulu dengan berdamai
dengan manusia dan telah mempercayakan semua pelayanan-Nya kepada Manusia.
Banyak
orang memilih mediasi sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik, apa yang
mereka alami adalah arbitrasi, ini berarti kebanyak orang lebih memilih mediasi
daripada arbitrasi. (Duta wacana, 1999,13)
Pada
umumnya orang lebih memilih mediasi karena karena dianggap lebih efektif untuk
menyelesaikan konflik-konflik besar. Mengapa orang tidak suka memilih arbitrasi
karena orang melihat arbitrasi sebagai cara tradisional yang dipakai untuk
penyelesaian konflik, misalnya system yang ada pada TNI dan Polri atau
Birokrasi atasan langsung dapat menyelesaikan masalah dengan tujuan win-win
solution (menag-menang atau kalah-kalah). [21]
4. Pendekatan
Pola pendekatan dibagi
atas beberapa bagian diantaranya:
Pedekatan berbasis kekuasaan:
mengadung pengertian berdasarkan kekuasaan dengan menerapkan kekuasaan untuk
menyelesaikan konflik, serta dengan kekuasaan mengganjurkan pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik untuk dapat bersaing secara adil.
Pendekatan berbasis hokum dan hak:
mengandung pengertian menyelesaikan konflik melalui jalur hokum agar pihak yang
terlibat konflik dapat memperoleh apa yang diperjuangkannya melalui lembaga
peradilan, arbitrasi dan mediasi atau mencari pihak ketiga yang berperan
sebagai penengah dalam konflik.
Pendekatan berdasarkan kepentingan:
mengandung pengertian menyelesaikan konflik dengan mendistribusi pihak-pihak
yang terlibat bedasarkan kepentingan mereka caranya dapat melalui negosiasi
yang menghasilkan win-win solution dan mediasi berdasarkan kepentingan.
Pendekatan relasional:
mengandung pengertian penyelesaian konflik denganmempertimbangkan perbaikan
relasi antar pihak-pihak yang terlibat konflik berdasarkan kepentingan, hak dan
hokum, etika dan kekuasaan membangun relasi antara dua pihak, memberikan
kesempatan kepada dua pihak untuk berbicara secara terbuka dan bebas
mengungkapkan perbedaan pendapat, menciptakan dialog melalui pendekatan negosiasi
dan mediasi, rehabilitasi melalui jalan keadilan dan rekonsiliasi dan
pendekatan transformative untuk mencapai perdamaian.
Pendekatan distributive:
mengandung pengertian menyelesaikan konflik dengan mempertimbangkan distribusi
masing-masing pihak dalam masalah sehingga menghasilkan penyelesaian,
memanfaatkan sumber daya dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yang pada
gilirannya dapat menghasilkan penyelesaian yang win-win solution, menyelesaikan
konflik sehingga tidak lagi menimbulkan klaim dari pihak-pihak yang terlibat
konflik dan menyelesaikan konflik dengan berusaha untuk mengurangi atau
memperkecil ruang-ruang perbedaan antara pihak-pihak yang terlibat konflik.
Pendekatan integrative:
memperhatikan masalah yang akan dipecahkan dipandang sebagai sesuatu yang lebih
utama sehingga diselesaikan secara integrative daripada menyelesaikan terburu,
sumber daya yang disengketakan cukup tersedia, malah dapat diperbanyak sehingga
mudah diselesaikan atau dibagi, dua pihak menginginkan bukan penyelesaian yang
utama melainkan cara memecahkan dan proses menyelesaikan masalah yang dapat
menciptakan nilai baru, dua pihak sangat menekankan agar masing-masing
kepentingan dapat di akomodasikan dan akhirnya dua pihak dapat menerima win-win
solution. (Liliweri 2014, 347)
Pola-pola
pendekatan adalah hal baik untuk dilalui dengan tujuan supaya konflik itu dapat
direda dan membutuhkan kemampuan yang baik untuk mengelola segala informasi
agar dapat dianalisis dengan baik, dalam rangka membangun mediasi antar dua kelompok.
Namun yang perlu diperhatikan adalah yang melakukan pendekatan adalah orang
yang bukan dari kedua pihak. Tetapi membutuhkan orang lain untuk dianggap bisa
percaya untuk memediasi kedua kelompok tersebut. Pola pendekatan sangat efektif
untuk menciptakan perdamain tanpa melalui kontak fisik.
2.8.
Manajemen Konflik
Pengembangan
model pengelolaan konflik merupakan hasil interpretasi dan rekonstruksi
berdasarkan kajian teoritis dengan memperhatikan kesesuaian literature dan
teori-teori kontemporer. Alternative model manajemen konflik yang inovatif
didasari oleh pemikiran bahwa konflik merupakan peristiwa yang tidak dapat
dihindari dalam ktivitas pencapaian tujuan. Keberadaan konflik sebagai indikasi
tumbuhnya dinamika individu atau kelompok yang saling berkompetisi untuk meraih
prestasi. Kompetisi antar individu atau kelompok dikategorikan sebagai bentuk
konflik yang fungsional jika memperjuangkan kepentingan yang lebih besar atau
kelangsungan organisasi. (Wahyudi, 2011,106).
Pemikiran
diatas perlu dicermati secara baik karena, bisa saja orang dapat berasumsi
lain, namun perlu adanya sikap kewaspadaan terhadap kemungkinan munculnya
konflik yang dapat merugikan organisasi sebagai akibat dari kekecewaan salah
satu pihak yang merasa kurang berhasil mencapai prestasi yang di inginkan.
Terdapat
beberapa model hipotetik manajemen konflik yang di tawarkan untuk meningkatkan
kinerja dan prduktifitas organisasi dan penerapan model dilakukan melalui
tahapan sebagai berikut:
a. Perencanaan
Perencanaan meliputi
kegiatan-kegiatan identifikasi masalah klasifikasi masalah dan analisis
masalah.
1. Identifikasi
masalah
Tahap
awal prosedur impementasi berupa identifikasi masalah yang muncul dengan cara
melihat gejala-gejala yang mengikutinya. Pimpinan harus mampu memisahkan antara
gejala konflik dengan masalah yang menjadi penyebab konflik. Gejala yang muncul
dapat dilihat antara lain: motivasi kerja rendah, sikap apatis atau perilaku
menghambat pekerjaan, suasana kerja menjadi tegang saling curiga, namun gejala
yang Nampak dimaksud bukan inti dari masalah. Masalah dapat bersumber dari
peraatan yang terbatas, pimpinan yang tidak aspiratif atau disain organisasi
yang kurang mendukung kelancaran pelaksanaan tugas. Untuk mengetahui masalah
yang menimbulkan konflik dapat dilakukan dengan cara mendengar keluhan dari
pihak-pihak yang sedang konflik atau meminta keterangan dari orang-orang
terdekat yang mengetahui proses terjadinya konflik. Selanjutnya didiskusikan
pada tingkat pimpinan untuk mengetahui dan sekaligus mengidentifikasi masalah
secara tepat.
2. Klasifikasi
masalah
Konflik
muncul disebabkan berbagai macam persoalan, saling berkometisi untuk
mengalokasikan sumber daya organisasi yang tebatas atau yang dikarenakan
perbedaan tujuan, nilai atau persepsi dalam menerjemahkan program-program
organisasi. Karena itu untuk mempermudah dalam pengelolaannya, perlu dilakukan
pengelompokka/pengklasifikasian sumber-sumber konflik dari berbagai macam
sumber konflik, Fieldman dan Arnold (1983:513) membagi menjadi dua kelompok
yaitu kurangnya koordinasi kerja antar kelompok dan kelemahan system control
orgaisasi. Kurangnya koorinasi kerja antar kelompok berkenan dengan saling
ketergantungan pekerjaa, keraguan dalam menjalankan tugas karena tidak
terstruktur dalam rincian tugas, dan perbedaan orientasi tugas. Sedangkan
kelemahan sistem kontrol organisasi berkenan dengan kelemahan manajemen dalam
merealisasikan sistem penilaian kinerja, kurang koordinasi antar unit atau
bagian, aturan main tidak berjalan secara baik dan terjadi persaiangan yang
tidak sehat dalam memperoleh penghargaan. (Wahyudi, 2011, 111-112)
Selain
pengelompokkan jenis-jenis konflik dan sumber-sumber konflik juga perlu
dilakukan klasifikasi konflik yang bersifat fungsi dan disfungsional. Konflik
fungsional dapat dijelaskan sebagai perbedaan pemikiran, inisiatif atau
pertentangan antara individu atau kelompok yang mengkritisi persoalan-persoalan
yang menghambat pencapaian tujuan sampai ditemukan solusi sehingga dapat
memperlancar aktivitas organisasi. Sedangkan konflik disfungsional adalah
pertetangan perselisihan atau perbedaan persepsi antar indvidu atau kelompok
dalam alokasi sumber daya organisasi atau perbedaan pemahaman dalam menerjemahkan
program yang berlangsung dalam jangka waktu lama, sehingga mengganggu target
oganisasi.
Pengelompokkan
jenis-jenis konflik, sumber-sumber konflik dan klasifikasi terhadap konflik
yang bersifat fungsional dan disfungsional dapat mempermudah dalam melakukan
analisis masalah dan pemelihan pendekatan manajemen konflik yang akan
diterapkan.
3. Analisis
masalah
Analisis
dilakukan untuk mengetahui apakah termasuk kategori penting dan mendesak untuk
diselesaikan atau dapat ditunda dengan memperhatikan kemampuan organisasi.
Sebagai contoh, banyak organisasi menunda untuk menambah sumber daya organisasi
(peralatan kerja atau mesin) karena memerluka dana yang banyak dan waktu yang
lama untuk mengembalikan modal “ rate of
return”. Demikian juga banyak organisasi kurang tertarik untuk melakukan
restruktursasi organisasi karena terikat denga atauran/regulasi yang berlaku
dalam institusi peemerintahan. Berbeda dengan institusi swasta lebih leluasa
untuk mengadakan perubahan struktur organisai baik yang menyangkut bagan
sebagai alur mekanisme kerja maupun pergantian personel sebagai upaya
peningkatan kinerja organisasi.
b. Pelaksanan
Tahapan
selanjutnya setelah perencanaan adalah pelaksaan, pelaksanaan dalam proses
manajemen konflik adalah penentuan pendekatan dan penerapan metode/pendekatan
manajemen konflik yang telah dipilih secara tepat dengan mempertimbangkan
resiko minimal.
1. Penentuan
metode / pendekatan
Penentuan
atau pemilihan pedekatan sangat tergantung pada masalah yang muncul, dan
kemampuan pemimpin dalam mengelola konflik agar menjadi kekuatan organisasi,
pemilihan pendekatan harus dipertimbangkan sungguh-sungguh kemungkinan dampak
yang dapat ditimbulka, diusahakan berpengaruh pada peningkatan kinerja secara
individu atau kelompok. Sejumlah pendekatan sering digunakan adalah resolusi
konflik, stimulasi konflik dan pengurangan (reduce)
konflik.
2. Penyelesaian
masalah melalui manajemen konflik
Pendekatan
manajemen konflik merupakan tahapan lanjutan setelah dilakukan analisis
masalah. Konflik yang terjadi dapat menguntungkan/fungsional dan merugikan atau
menghambat pencapaian tujuan organisasi. Pendekatan manajemen konflik yang
dipilih dan diterapkan bergantung pada masalah yang dihadapi dan dampak yang
ditimbulkan. Apabila konflik terlalu tinggi dicirikan dengan perilaku agresif,
ego kelompok, saling menghambat pekerjaan, maka pendekaan yang sesuai adalah
mengurangi (reduce) konflik. Akan
tetapi sebaliknya apabila konflik terlalu rendah yang dicirikan motivasi kerja
rendah, muncul sikap apatis, kurang tanggap terhadap masalah maka lebih tepat
memilih pendekatan stimulasi konflik dengan cara meningkatkan kompetisi,
evaluasi kinerja secara terpadu dan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih
giat. Demikian halnya apabila konflik berada pada tingkat yang optimal
masing-masing pihak yang sedang konflik berorientasi pada tugas, berusaha
mencari solusi, berusaha mengembangkan diri dan berusaha mengevaluasi kinerja
masing-masing, maka dapat dilakukan resolusi konflik dengan cara musyawarah,
negosiasi, konfrontasi ataupun tawar menawar. (wahyudi, 2011, 113-114)
c. Evaluasi
Evaluasi
merupakan kegiatan penting dalam keseluruhan proses manajemen konflik. Dengan
mengetahui pencapaian pelaksanaan manajemen konflik yang dilakukan dan dampak
yang ditimbulkan maka kegiatan evaluasi merupakan langkah yang kritis karena
sebagai landasan untuk melakukan koreksi ataupun pemantapan pada
langkah-langkah sebelumnya.
Keberhasilan
manajemen konflik dapat dilihat dari sikap dan perilaku kinerja individu atau
kelompok karyawan. Dampak positif dapat dicapai apabila anggota organisasi
menunjukkan motivasi kerja, berusaha mencari pemecahan masalah setiap terjadi
perbedaan atau pertentangan, mengadakan evaluasi selama proses kegiatan dan
membandingkan dengan standar yang telah ditetapkan, mengadakan perubahan jika
terdapat kesalahan dalam prosedur kerja dan berorientasi pada tujuan atau
tugas. Sebalik sikap dan perilaku yang perlu mendapat perhatian adalah munculnya
sikap apatis sekedar melaksanakan tugas, motivasi kerja rendah dan sekedar
melaksanakan tugas tanpa usaha yang sungguh-sungguh untuk berprestasi.
Manajemen
konflik yang berhasil akan menigkatkan kinerja individu yang ditunjukkan dalam
perilaku kerja dan hasil kerja. Performansi yang dimaksud dalam pengertian
disini diartikan sebagai perilaku kerja dan hasil kerja yang telah dilakukan
didalam organisasi. Perilaku kerja terlihat dari cara kerja yang penuh
semangat, disiplin, bertanggungjawab, melaksanakan tugas sesuai standar yang
ditetapkan, memiliki motivasi dan kemampuan kerja yang tinggi terarah pada
pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan hasil kerja merupakan proses akhir dari
satu kegiatan yang dilakukan anggota organisasi yang berupa barang yang dibuat,
diciptakan, banyak layanan atau meningkatkan layanan yang telah diberikan
informasi yang berguna bagi peningkatan keterampilan atau pegetahuan
masyarakat. (wahyudi, 2011, 114)
2.9.
Alkitab dan Konflik
Jika perasaan yang kuat atau perbedaan pendapat
dapat mengancam keharmonisan gereja. Sekalipun Alkitab menunjuk orang percaya
sebagai orang "kudus", tidak berarti mereka sempurna. Sebaliknya,
mesti berpikir realistis bahwa pertengkaran pasti akan terjadi karena beberapa bagian
dari Alkitab memberi petunjuk tentang
bagaimana menyelesaikan konflik yang timbul dalam jemaat. Antara lain: Persoalan Pribadi.[22]
Bagian pertama adalah catatan tentang pengajaran
Tuhan Yesus sendiri. Dia memberi tahu para pengikut-Nya mengenai hukuman yang
akan diterima orang berdosa. Mereka tidak sepatutnya menimbulkan keributan dan
menjadikannya masalah besar, sebaliknya mereka harus mendatangi orang berdosa
ini dan mengonfrontasikan kesalahannya dengan penuh kasih. Inilah yang
dikatakan Yesus:"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah
empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.
Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya
atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika
ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika
ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang
tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai."
Masalah
Kebijakan: Kisah Para Rasul 6:1-7.
Perikop ayat ini
menceritakan sebuah situasi yang menyebabkan terjadinya pertengkaran hebat.
Jemaat gereja mula-mula di Yerusalem yang menyalurkan uang dan makanan kepada
janda-janda miskin, mulai pilih kasih. Kemungkinan mereka adalah kelompok
mayoritas orang kristiani Yahudi yang berbahasa Aram. Mereka ini tidak pernah
menyukai orang Yahudi yang memakai bahasa Yunani sebagai bahasa ibu. Prasangka
ini dibawa ke dalam gereja sehingga para janda dari kaum yang lebih minoritas
itu dilalaikan.
Hal ini membuat para anggota gereja
berkebangsaan Yahudi yang berbahasa Yunani mulai gusar dan mengeluh. Sedikit
demi sedikit emosi terus meninggi. Masalah besar akan timbul bila mereka tidak
segera mengambil tindakan pencegahan. Karena itulah para rasul campur tangan,
dan mereka berhasil menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Bagaimanapun juga ini baru masalah kecil, yang
tidak menyangkut ketidaksetujuan besar yang menyeret gereja ke dalam pertengkaran.
Namun, kita mesti sadar bahwa banyak gereja pecah karena setengah anggotanya
menginginkan organ merek tertentu, sedangkan lainnya menginginkan merek yang
berbeda.
Inilah yang dilakukan para rasul untuk
menyelesaikan konflik yang timbul.Mereka menghadapi masalah itu. Ketika para
rasul mendengar bahwa orang Yahudi yang berbahasa Yunani mengeluh, mereka
segera bertindak. Mereka tidak menyembunyikan masalah ini di bawah bantal dan
berharap akan selesai sendiri. Mereka juga tidak membela diri, atau melihatnya
sebagai kegagalan dalam kepemimpinan mereka. Sebaliknya, mereka mengumpulkan
jemaat sehingga setiap orang tahu apa yang terjadi. Mereka tidak melindungi
kepentingan mereka sendiri.
Mereka bertindak dan Para rasul menawarkan pemecahan masalah ini:
"Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman." [23]
"Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman." [23]
Para rasul melihat dengan jelas bahwa mereka
harus memberi prioritas pada doa dan firman. Mereka menyimpulkan bahwa tanggung
jawab menyalurkan makanan harus ditangani oleh orang-orang kristiani yang dapat
dipercaya. Dan mereka melibatkan jemaat dengan meminta mereka memilih tujuh
orang yang akan menangani peyalanan ini. Mereka menunjukkan kepercayaan. Jemaat
yang mengikuti para rasul, mengambil langkah berikutnya dengan memilih tujuh
orang dari kelompok minoritas untuk mengatur tugas harian.
Kita mengetahui hal ini karena setiap orang yang
terpilih mempunyai nama Yunani. Kaum Aram yang mayoritas bisa saja berkata,
"Lihat, kami telah menunjuk lima orang dari kelompok kami. Silakan kalian
utus dua orang dari kelompok kalian." Meski hal ini mungkin dapat diterima,
tetapi belum tampak adanya perhatian dan kepercayaan yang membangun
kebersamaan. Ketika mereka melihat tindakan yang penuh kasih dan kepercayaan
itu, kelompok orang percaya berbahasa Yunani yang minoritas itu tidak lagi
mempertahankan pertengkaran, sebaliknya menyelesaikan konflik dan mengasihi
saudara-saudara seimannya.
2.10.
Pandangan Teolog Kristen tentang konflik
Menurut
Muste dalam Wink, konflik dapat terjadi karena sikap pasifisme, tidak
disengajakan namun dapat saja terjadi disetiap kehidupan manusia. Menarik dari
pandangan ini bahwa Penyelesaiannyapun dapat dilakukan dengan sikap pasifisme,
asalkan memenuhi karakter sebagai berikut: (1) berani mengakui kesalahan
sendiri (2) berani mengatakan kebenaran (3) tidak takut (4) harus mampu
mengalihkan pertikaian fisik kesuasana lain merupakan saluran yang menjadi
kekuatan lain yang menciptakan hukum lain.(Wink, 2012, 59-61)
Sikap
seperti ini merupakan sikap tidak peduli terhadap lingkungan dimana dia ada,
hanya bergantung pada kepentingan dirinya sendiri, namun memiliki kelebihan
yaitu spontan dalam menyikapi setiap masalah, berani berkata yang sesungguhnya
karena tidak perduli dengan kehidupan orang lain. [24][25]
Menurut
Luther Dalam Duta Wacana University Press.Kekerasan atau konflik membawa
inpraktikal (Tidak baik) immoral (Jahat) tidak berguna karena pada
akhirnya menghasilkan kehancuran untuk semua. Pada perjanjian lama ada istilah
“mata” ganti “mata”. Immoral karena manusia lebih banyak melawan dari pada
pengertiannya. Hal itu manghacurkan banyak hal, kekerasan bersifat immoral
karena menghancurkan cinta, komunitas dan tidak saling mengenal dan tidak ada
dialog. Kekerasan menciptakan peperangan dan pada akhirnya menghancurkan. (Duta
Wacana, 1999, 1)
Konflik
merupakan bagian dari hidup akan tetapi konflik jaga sampai meruntuhkan cinta,
komunitas dan tidak saling mengenal. Dialog merupakan salah satu solusi untuk
mendamaikan pihak yang berkonflik sehingga tidak ada kekerasan. Karena
sejatinya kekerasan hanya hanya bisa diakhiri dengan mengalahkan kekerasan itu
sendiri. Maksudnya adalah paradigm lama harusnya di tinggalkan dan menggunakan
cara-cara santun yang menjada persekutuan di zaman modern seperti ini.
2.11.
Pandangan Orang Helong Tentang Konflik
Orang
Helong menyebut masalah dengan istilah dasi yang artinya masalah. Dasi
(masalah) tentunya merupakan bagian dari kehidupan manusia termasuk orang
helong sendiri. Oleh karena itu dasi ditujukan juga untuk hal yang baik, dalam
arti ada dasi yang baik dan tidak baik. Misalnya dalam penyampaian dais in mate nol dais in kabing arti
masalah kematian dan masalah perkawinan atau dais in ko madi afa nol dais in nek afa artinya masalah saling memarahi
dan masalah saling sayang. Kata ini menjelaskan secara jelas bahwa masalah atau
konflik merupakan proses yang mestinya harus dapat dilalui oleh setiap orang
helong karena masalah merupakan jalan untuk memperoleh kabaikan. Untuk itu
dapat kita amati konflik yang terjadi dikalangan orang helong dari masa ke masa
yakni:
a.
Konflik-konflik di Orang Helong.
Kata
Helong berasal dari dua suku kata He dan Lo , sedangkan He, berarti “Jual” dan
Lo berarti “Tidak” maka kata Helo artinya “Tidak Jual”. Pengertian umum dari
kata Helo adalah pengorbanan atau rela berkorban. Dalam pergaulan dan
perkembangan penggunaan bahasa secara etimologi, kata He dan Lo menjadi Helong.
Falsafa hidup etnik Helong dari leluhurnya, etnik ini bersedia berkorban dan
tidak rela diganggu, karena dia berbalik membalas. (Luitnan Arries, 2012,7).
Dari
pengertian atau falsafa hidup orang Helong, menunjukkan karakter manusia yang
ingin hidup baik (damai). Karena memilik pandangan hidup dari nenek moyang
bahwa tidak boleh saling menyakiti bahkah lebih dari itu orang Helong rela
berkorban untuk sesuatu yang sangat penting. Dalam perkembangannya di Kota
Kupang pun megalami berbagai kesulitan-kesulitan, diantaranya segala
pengorbanan orang Helong seperti, sebagian wilayah diberikan untuk membangun
kota (dibangun gedung seperti Kantor Gubernur NTT, SD bertingkat Naikoten dan
lain-lain). Namun orang Helong merasa terusik dan terkadang merasa telah
terusir dari kampungnya sendiri karena pemerintah terus mengejar orang Helong seperti
zaman nenek moyang, misalnya dengan rencana pembangunan bendungan raksasa
Kolhua, dengan menghabiskan 118 hektar tanah.
Konflik
dalam suku Helong sendiri sangat beragam, misalnya soal status sosial, yang
dianggap keturahan Lahi atau Raja dengan yang bukan keturunan Lahi atau Raja.
Hal ini penting untuk diketahui bahwa dalam suku Helong sendiri diceritakan
bahwa berasal dari pulau seram, dalam perjalanan ini mendapati berbagai
rintangan bersama kelompoknya, tentu semua yang ada dalam kelompok tersebut
ketika mendapatkan persoalan maka akan merasa sama-sama sepenangung untuk
menyelesaikan.
Menurut
dokumen (catatan tulisan tangan) yang dibuat oleh fetor semau Christian Dean
Bissilisin (Putera Raja Dean Manas Bissilisin) bertanggal 3 Februari 1953,
intinya membantah surat keluasan yang dikeluarkan Raja Dean Manas Bissilisin
kepada Sersan Soesang Obeng. Kata Christian Dean Bissilisin bahwa surat itu
keluasan tersebut dinyatakan Palsu. Bunyi
surat keluasan tersebut selengkapnya sebagai berikut:
“saya Dean Manas Bissilisin, Raja Koepang Tua
member keluasan kepada soesang obeng, boleh mendirikan sebuah rumah dalam
kontal kebun saya di kebun air serta boleh membersihkan dan menanam jagung,
kacang dan labu tiap tahun”
Mengenai sengketa itu
akhirnya Sonaf Kai Salun yang diperkarakan tahun 1939, dengan pokok perkara
bahwa keluasan yang diberikan kepada sersan Soesang Obeng terbatas untuk
membangun rumah tinggal sederhana beratap daun dan berlantai tanah dengan
tanaman umur pendek. Akhirnya keputusan perkara dimenangkan oleh keluarga
Bissilisin dan memerintah sersan Soesang Obeng membongkar rumahnya. (Luitnan
Arries, 2012, 73)
[1]
Nir kekerasan merupakan terjemahan yang di bahasa indonesiakan.
[2]
Nir kekerasan berarti penyelesaian masalah tanpa kekerasan fisik.
[3]
Edward John Carnel, Commitment : An Aologetic (New York: Macmillan 1957 ), Hal.
vii
[4]
Bdk. Pudarnya Kebanaran , Membela
Kekristenan Terhadap Tantangan Potsmoderen.(2003) hal.133.
[5]
Baca dan bdkn pemahaman alkitab setiap hari, surat-surat Yohanes dan Yudas (William Barcleay, 2012)
[6]
Lihat hal.218, 235
[7]
Pruitt dan Rubin (2004:200-214) eskalasi konflik diamati melalui pendekatan
tiga model konflik, yaitu pertama Model
aggressor-defender, yang kedua model spiral konflik, dan yang ketiga model
perubahan struktural
[8] aggressor-defender artinya (pengerang dan
pihak yang bertahan)
[9]
Baca, buku konflik dan pergerakan social “isu-isu kontemporer perlawan
masyarakat adat konflik tanah dan kekuasaan” (Yusuf Muhammad dkk. Hal 2- 10)
[10]
Baca konflik dan pergerakan social hal,
2. Teori resistensi: “studi resistensi merupakan bagian dari pergerakan dan
aksi sosial dalam banyak aspek kehidupan social, aksi social dipandang sebagai
aksi menetang negara dan kebijakan negara perjuangan atau politik grass –root demi kepentingan manusia
melibatkan actor dan partisipan (sing, 2010:130-132). Gerakan sosial dipahami sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan
tak terlembaga yang dilakukan oleh sekelompk orang untuk memajukan atau
menghalangi perubahan dalam sebuah masyarakat (Mirsel, 2006:6)” gerakan social mencakup peralaku
kolektif, gerombolan orang banyk, massa, berorientasi pada nilai dan
antisistemik dalam bentuk simbolisme (Gaus dan Kukathas, 2012:610-611).
[11]
Pemikiran resistensi dalap dirujuk dalam tulisan Foucault yang berjudul “the history of sexuality” dalam karya
tersebut ia mengajukan tesis bahwa: “where there is power, there is resistance,
and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of
exteriorty in relation to power” (Foucault, 1990:95)
[12]
Seperti yang saya gambarkan sebelumnya bahwa hikmat Allah secara alkitabiah
merujuk pada kemampuan Allah mengahadirkan hikmat dalam Yesus. Yesus berperan
sebagai pembawa damai bagi umat manusia, yang dengan segala yang dilakukan
manusia telah menciderai Allah. Oleh karena itu yesus tampil sebagai sang
mediator yang mampu menciptakan perdamaian dan Yesus sebagai jalan kepada Bapa
di Sorga
[13]
Baca keterampilan komunitas dalam menghadapi konflik 2002, teori dan masukan, bekerja
dalam komunitas, anggapan dan peringatan.mediator atau fasilitato menjadi
pemain tunggal yang dianggap sebagai malaikat untuk hadir mneyelesaikan masalah
atau masalah yang ada dicegah untuk tidak terulang-ulang. Hal ini mennujukkan
bahwa sang mediator akan menjadi pembawa damai bagi semua orang. Fasilitator
juga perlu berhati-hati untuk mencegah seseorang yang memaparkan informasi
tentang diri mereka sendiri. Karena ketika fasilitator atau sang mediasi
menyadari munculnya emosi meluap dalam diri seseorang, mungkin akibat
pengalaman kehilangan belakangan ini yang berkaitan langsung dengan konflik.
[14]
Penggunaan istilah’ fasilitator ‘ dinggap sama dengan istilah yang digunakan
organisasi lain, misalnya tutor atau pelatih. Istilah ‘protestan’ dan ‘katolik’
digunakan untuk mendiskripsikan dua kelompok agama / politik utama di Irlandia
utara karena adanya keyakinan bahwa kedua istilah tersbut dapat merefleksikan
realitas historis dari kelompok tersebut.
[15]
Lihat kamus ilmiah. Hikmah = kepandaian; kebijaksanaan; kebaikan yang berharga;
hikmat; kesaktian (gaib). Hikmat menjadi hal yang penting dalam mencegah segala
konflik yang terjadi dalam jemaat.
[16]
Lihat eknsiklopedi masa kini. Hikmat dalam PL adalah sekaligus bersifat agamawi
dan praktis, dan berasal dari ‘takut kepada Tuhan’ bndk (Ayub 28 : 28; Mzm 111
: 10; Ams 1:7; 9:10). Hikmat berkembang
menyentuh segenap hidup, seperti ditunjukkan dan jelaskan secara luas dalam
Ams. Hikmat memperoleh pengertian yang dikumpulkan dari pengetahuan tentang
jalan-jalan Allah dan menerapkan dalam hidup sehari-hari.
[17]
Hikmat dalam PB. Pada umumnya bersifat praktis sama seperti PL. Hikmat jarang
netral (meskipun bandingkan hikmat orang mesir, kis. 7: 22); ia adalah karunia
Allah atau Melawan Allah. Kristologi hikmat Paulus adalah suatu konsepsi yang
dinamis, sebagaimana diperlihatkan pada penekanan kegiatan kristus dalam
penciptaan, Kol 1:15 dab dan dalam penebusan serta 1 kor 1:24, 30. Ayat-ayat
terkhir menegaskan bahwa dalam penyaliban. Allah membuat Yesus menjadi hikmat
kita, suatu hikmat yang lebih jauh diterangkan sebagai merangkumi pembenaran,
pengudusan dan penebusan.
[18] (Baca Matius
27:45-56).
[19]
Rekonsilisi sangat dibutuhkan dalam menciptakan pardamaian bagi
kelompok-kelompok yang bekonflik karena rekonsili membutuhkan kekuatan atau
usaha orang lain yang mencintai perdamaian, ada syarat-syarat yang harus
dilakukan dalam rekonsiliasi agar tujuan perdamaian dapat tercapai. Baca “dialog perdamaian dan persaudaraan, Suseno
frans, juli 2015, 9-16)
[20]
Lihat. 2 Korintus 5 ayat 16 – 19. Allah telah mendamaikan diri-Nya
dengan manusia melalui Yesus Kristus. Dan itu adalah rekonsiliasi Allah sebagai
Hikmat Allah.
[21] Arbitrasi:
perwasitan; hal keputusan wasit; perantara penengah sengketa. Arbitris:
wasit perempuan. Arbitrase: peradilan terhadap perorangan (dengan KUHP),Arbitrare: pemisahan, penengahan, peleraian,
pengadilan
[22]
Bandingkan: Matius 18:15-20.
[24]
Lihat buku pudarnya kebenaran,pembela
kekristenan terhadap potsmoderen. (2003), Hal. 1-10,
[25]
D.M. Crump, “ Truth,” di dalam Dictionary
of Jesus and the gospel, di edit oleh Joel B. Green, scott McKning dan I.
howard Marshall (Downers Grove III : InterVarsity Press, 1992), hal. 859.
Komentar
Posting Komentar