Hikmat dan Konflik

HIKMAT DAN KONFLIK
2.1. Pendahuluan
Penulisan Tesis dengan judul “Hikmat mengelola konflik di jemaat” penulis akan bagi dalam beberapa konsep, dengan tujuan merinci setiap kontruksi bangunan berpikir yang hendak saya jabarkan untuk memberikan pemahaman tersendiri bagi setiap pembaca. Hal ini tentunya akan sangat menolong jalan pikiran dari penulis dan mempermudah pemahaman pembaca yaitu, yang pertama: Pendahuluan, yang kedua Konflik, Asumsi Konflik; asumsi menolong, asumsi yang tidak dapat dihinari atau tanda orang lagi sehat, menghadapi konflik penuh resiko tapi meghindari lebih resiko, Konflik; orang lebih suka tau dari pada menyadari, terikat budaya, kita harus belajar dari konflik, harus terus menerus sadar, bersedia menanggung resiko dan berbuat salah, fit back atau evaluasi. Yang ketiga Hikmat sebagai resolusi konflik.
Dari beberapa konsep diatas tujuannya agar, dapat dipahami sebagai alur atau kerangka berpikir dari tulisan ini, untuk membantu pemecahan masalah dalam tulisan ini. dan dengan konsep-konsep ini mempermudah penulis untuk menemukan resolusi konflik yang sesuai dengan karakter tempat dimana penulis akan mengadakan penelitian.
Kemana kini nir-kekerasan[1][2] membawa kita? Secara singkat dapat dikatakan kini nir-kekerasan beralih dari tindakan individu dan perseorangan ke tindakan kolektif yang melibatkan berbagai kelompok; dari beberapa orang sampai jutaan orang. Nir-kekerasan telah mengubah sikap kita dari tindakan pasif ke tindakan proaktif langsung. Nir-kekerasan telah mengubah sikap kita sikap takut ke sikap berani, namun tanpa kekerasan. Nir-kekerasan telah membawa kita melintasi teori perang – adil dan pasifisme ke “jalan ke tiga”, yang merupakan sintesis baru dari keduanya. (Wink Walter, 2012, 433).
Pandangan diatas mengatar kita untuk dapat melihat konflik sebagai dinamika hidup yang akan terus berkembang serta mengatar kita pada bagaimana mengikapi konflik tanpa kekerasan? Ini resolusi yang akan dibangun untuk menciptakan model paradigma baru yang berkembang dalam mencegah konflik yang bermuara pada kekerasan. Bahwa nir-kekerasan menghendaki agar manusia memprotes sesuatu harus dengan jalan yang cerdas atau berhikmat untuk memperoleh keadilan yang bermartabat.
Kini tiba waktunya untuk bertindak secara nir-kekerasan yang aktif. Sikap semacam ini telah terbukti berhasil dalam beberapa decade terakhir pada abad ke- 20. Terbukti efektif dalam memerangi tirani politis. Dalam kerja sama dengan berbagai kelompok perdamaian dan keadilan, maka akan terus memperjuangkan perdamaian dan keadilan bagi dunia tanpa kekerasan. (Wink Walter, 2012, 434).
Sependapat dengan Pandangan diatas karena dalam mendapatkan perdamaian membutuhkan perjuangan dan harus menggunakan metode yang ampuh untuk mencegah segala konflik yang ada. Dunia saat ini harus bahu membahu memikir penyelesaian konflik yang efektif untuk melihat lebih jauh kedepan dengan harapan keadilan itu menjadi milik semua orang.
Persepsi orang terhadap konflik, dilatar belakangi oleh pengalaman dalam mengelola organisasi, tingkat pendidikan dan pengaruh lingkungan sosial. Konflik pada awalnya dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat  maupun aturan organisasi namun dengan meningkatnya pengetahuan maka pandangan konflik mengalami perubahan. (Wahyudi, 2011, 14. Cetakan ke IV)
Dari pandangan diatas dapat diasumsikan bahwa dalam segala situasi konflik bisa saja terjadi walaupun pelayanan gereja di jemaat, karena dapat dipengaruhi oleh berbagai factor yang mendorong lahirnya suatu konflik.
Polak, M. (1982) membedakan konflik dalam 4 jenis yaitu: (1) konflik antar kelompok, (2) konflik interen dalam kelompok, (3) konflik antar individu untuk mempertahankan hak dan kekayaan, dan (4) konflik interen individu untuk mencapai cita-cita. Konflik yang terjadi pada lingkungan masyarakat lebih bervariasi, tidak hanya melibatkan kepentingan individu dan kelompok. Dikemukakan oleh soekanto, s. (1981), jenis konflik meliputi; (1) konflik pribadi, (2) konflik rasial, (3) konflik antar kelas-kelas social (4) konflik politik antar golongan dalam masyarakat, (5) konflik berskala internasional antar Negara.
2.2. Konflik
DuBrin, A.J. (1984:346) mengartikan konflik mengacu pada pertentangan antara individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling mengahalangi dalam pencapaian tujuan sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: “conflict in the context used, refers to the opposition of person or forces that gives rise to some tension. It occurs when two or more parties (individualis, groups, organizayion) perceive mutually exclusive goals or event” .
Hal senada juga dikemukakan juga oleh Hardjana (1994), bahwa konflik adalah perselisihan, pertentangan antar dua orang/ dua kelompok dimana perbuatan yang satu berlawanan dengan yang lainnya sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Kedua pendapat terakhir menganggap bahwa pertentangan antar individu dan kelompok sebagai perilaku yang menggangu pencapaian tujuan organisasi. Dengan demikian konflik diartikan sebagai peristiwa yang dapat merugikan organisasi. (Wahyudi,2011, 19)
Oleh karena itu konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tentunya dalam menjalani pasti ada satu atau lebih masalah itu muncul secara sadar atau tidak sadar, sehingga konsep diatas menguraikan bahwa konflik yang terjadi merupakan perselisihan antara satu dan yang lain atau konlik harus ada 2 orang. Menurut saya konflik tidak selamanya harus melibatkan orang lain, konflik bisa saja terjadi dalam diri kita dan sebabnyapun terjadi atau mulai dari diri kita sendiri.
Permulaan konflik merupakan kondisi-kondisi yang menyebabkan atau mendahului satu peristiwa konflik. Peristiwa yang dapat mengawali munculnya konflik adalah kekecewaan (Frustration). Kekecewaan tidak selalu diungkap secara terbuka dan biasanya gejala-gejala akan terjadinya konflik tidak dapat dilihat. Masing-masing individu atau kelompok berusaha menahan diri dan tidak bersikap reaktif.
Pengelolaan konflik (conflict resolusion), pemimpin bertanggungjawab terhadap pengelolaan konflik didalam sebuah organisasi. Realitas menunjukkan bahwa konflik selalu hadir pada setiap organisasi dan keberadaan konflik tidak dapat dihindarkan . tugas pemimpin adalah mengarahkan dan mengelola konflik agar tetap produktif meningkatkan kreatifitas individu guna menjaga kelangsungan organisasi.
Dampak konflik (conflict effect / conflict impact) konflik yang tidak dikelola secara baik menyebabkan kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik menjadi tidak harmonis dalam hubungan kerja, kurang termotivasi dalam bekerja. Bila konflik dapat dikelola secara baik, suasana kerja akan menjadi dinamis, setiap anggota lebih kristis terhadap perkembangan organisasi, setiap kelompok berusaha melakukan pekerjaan yang terbaik untuk kepentingan bersama. (wahyudi, 2011, 21).
Konflik dapat menciptakan perubahan kearah yang baik dan kearah yang tidak baik. Konflik pada akhirnya akan membawa perubahan, namun perubahan menuju yang baik atau tidak tergantung bagimana pengelolaanya. Dampaknyapun akan sangat membantu untuk mengenal lebih jauh siapa diri kita, teman / lawan kita, lingkungan bahkan semua yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan kita, dimanapun kita berada. Dalam suasana apapun, bahkan kondisi apapun kita akan belajar untuk dapat menyelesaikan konflik secara damai. Mengapa karena dalam kehidupan kita sesunggunya tidak seorangpun yang menginginkan kehidupan yang buruk dimasa yang akan datang.
2.3.   Asumsi Konflik
Konflik merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan, baik dalam organisasi pelayanan, bahkan konflik selalu hadir dalam setiap hubungan kerjasama antara individu, kelompok, maupun organisasi. Konlik selalu melibatkan orang, pihak atau kelompok orang, menyangkut masalah yang menjadi inti, mempunyai proses perkembangan  dan ada kondisi yang menjadi latar belakang, sebab-sebab dan pemicunya. (Wahyudi, 2011, 23. Cetakan ke IV)
Dari pemikiran diatas dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan bagian terpenting dalam setiap kehidupan manusia, karena sebagian aktifitas manusia hampir terus menerus berjumpa dengan konflik. Tentu konflik dilatar belakangi oleh kondisi atau situasi dimana kita berada. Sehingga konflik menjadi penentu bagi yang efektif untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Etika karakter bahwa terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang efektif, dan bahwa orang hanya dapat mengalami keberhasilan yang sejati dan kebahagiaan yang abadi jika mereka belajar mengitegrasikan prinsip tersebut kedalam karakter dasar mereka. (Covey 2010, 24)
Pandangan diatas menunjukkan bahwa etika karakter menjadi apa ang dapat kita sebut etika kepribadian. Keberhasilan merupakan suatu fungsi kepribadian, citra masyarakat, sikap dan perilaku keterampilan dan teknik, yang melicinkan proses interaksi manusia. Etika kepribadian ini bisa mengambil dua jalan, yang pertama adalah teknik hubungan manusia dalam masyarakat, yang kedua adalah sikap mental pasif.
Cara pandang merupakan gambaran diri kita, bagaimana secara komprehesif mewakili setiap perilaku seseorang. Cara pandang yang positif akan mengandung dan melahirkan perilaku yang positif dan sebaliknya. Cara pandang dapat mendorong seseorang untuk bertindak atau berbuat berdasarkan arahan dan kemauan dari cara pandang yang dikemas untuk tujuan tertentu.
Pertentangan (Conflict) masyarakat mungkin pula menjadi sebab perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok. Umumnya masyarakat tradisional di Indonseia bersiafat kolegtif segala kegiatan didasarkan pada kepetingan masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui, tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya, dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan perubahan-perubahan. (Soekanto, 2014, 278, cetakan ke 46)
Pertentangan antar kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan-pertentangan demikian itu kerapkali terjadi, apalagi pada masyarakat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ketahap modern. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya lebih muda menerima unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya kebudayaan barat) yang dalam beberapa hal mempunyai taraf yang lebih tinggi. Keadaan demikian menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat, misalnya pergaulan yang lebih bebas antara pria dan wanita, atau kedudukan mereka yang kian sederajat didalam masyarakat dan lain-lainnya.
Memahami konflik dengan segala dinamika dan pengelolaanya, akan sangat membantu kita untuk lebih menggunakan kecerdasan hati dalam mencari rekonsiliasi konflik untuk mencapai restorasi konflik yang bernilai. Untuk itu dapat kita asumsikan dalam beberapa bagian, diantaranya:
a.       Asumsi menolong
Teori kebutuhan manusia, mengatakan bahwa konflik dalam organisasi berakar dari perbedaa riil atau akses setiap individu atau kelompok ketika berusaha untuk mencapai atau memenuhi kebutuhan dasar demi kehidupan anggota organisasi dalam masyarakat. Berbagai kebutuhan manusia, seperti kebutuhan fisiologis, sosiologis, psikologis mungkin tidak seluruhnya akan dipenuhi oleh seseorang hanya karena seseorang, termasuk sebagai anggota sebuah arganisasi. Jika kesenjangan antara usaha untuk memperoleh atau memenuhi kebutuhan itu makin besar, maka makin besar pula peluang terjadinya konflik.
Para provokator konflik mengandalkan asumsi teoritis ini untuk menciptakan konflik dengan menyebarkan isi-isu kesenjangan sosial, kesulitan memperoleh akses atau memperoleh kebutuhan hidup. Sebaliknya, berdasarkan teori ini kita dapat menganalisis dan merencanakan untuk memenuhi kebutuhan para anggota organisasi. Artinya, kita dapat membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan mencapai kesepakatan bersama atas kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi agar dapat menghasilkan pilihan-pilihan memenuhi kebutuhan hidup. (Liliweri 2014, 355).
b.      Asumsi yang tidak dapat dihindari atau tanda orang lagi sehat
Sifat dasar manusia adalah bertindak dan bukan menjadi sasaran tindakan, selain memungkinkan kita untuk memilih jawaban terhadapat keadaan terntu, sifat ini member kekuatan untuk menciptkan keadaan tertentu. Mengambil inisiatif bukan berarti mendesak, menjengkelkan atau agresif. (Covey 2010, 28)
Manusia yang berinisiatif adalah manusia yang responsive terhadap situasi dan perilaku seperti ini menunjukkan manusia yang sementara berpikir dan selalu siap karena dipengaruhi oleh kesiapan mental, fisik atau pikiran yang bersih dan atau yang sehat. Dengan inisiatif dapat menciptakan keseimbangan hidup, dan dapat mengembangkan diri dengan sikap yang bertangungjawab terhadap setiap perlaku yang muncul.
c.       Mengahadapi konflik penuh resiko tapi menghindari lebih resiko
Kematangan adalah keseimbangan antara keberanian dan tenggang rasa. Jika seseorang dapat mengekspresikan perasaan dan keyakinannya dengan keberanian yang diimbangi dengan pertimbangan akan perasaan dan keyakinan orang lain, maka ia sudah matang, khususnya jika persoalannya sangat penting bagi kedua belah pihak. (Covey, 248). [3]
Dari pikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa kematangan merupakan perilaku positif dari manusia untuk menghadapi segala resiko, dan untuk menghadapi segala konsekuensi konflik, baik secara sadar maupun tidak. Akan tetapi dalam menghadapi konflik manusia harus berperilaku tenang dan proaktif terhadap segala konflik yang terjadi di sisi kehidupan kita.[4]
2.4. Konflik Sebagai Realitas
Konflik merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan kita, bahkan konflik selalu hadir dalam setiap hubungan kerja sama antar individu, kelompok, maupun organisasi. Konflik selalu melibatkan orang, pihak atau kelompok orang, menyangkut masalah yang menjadi inti, mempunyai proses perkembangan dan ada kondisi yang menjadi latar belakang, sebab dan pemicunya (Harjana, A.M. 1994). Mengingat berbagai macam perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam bidang manajemen, maka wajar muncul perbedaan-perbedaan pendapat, keyakinan ataupun ide-ide (Winardi, 1990: 225).
Demikian pula seiring meningkatnya pengetahuan masyarakat, pandangan terhadap konflik berbeda dengan pandangan masa lampau. Untuk itu dapat pula kita konsepkan beberapa pencegahan konflik yaitu:
1.      Orang lebih suka tau daripada menyadari.
Orang lebih suka tau daripada menyadari, mungkin ini adalah satu kebiasaan yang sering terjadi dalam kehidupan manusia dan terkadang tidak disadari oleh manusia itu sendiri karena manusia diperhadapkan dengan keinginan yang selalu disibukkan untuk mengetahui dan mendapat tanpa menyadari dari mana sumbernya. Suka tau adalah ciri keegoisan dari manusia, karena dorong suka tau mungkin saja tidak memberi ruang pada nurani untuk memfilter setiap keinginan dari pikiran manusia.
Albert Einstein dalam Covey, mengemukakan bahwa, “Masalah penting yang kita hadapi kini tidak dapat kita pecahkan pada tingkat berpikir yang sama seperti ketika kita menciptakan masalah tersebut. Ketika kita memandang kesekeliling kita dan kedalam diri kita dan mengenali masalah-masalah yang terjadi ketika kita masih hidup dan berinteraksi dalam etika kepribadian, kita mulai sadar bahwa semua ini adalah masalah yang mendalam dan mendasar yang tidak dapat dipecahkan secara dangkal saja. (Covey, 2010, 51)
Dari pemikiran diatas terdapat beberapa hal yang terus mengikat manusia untuk berada dalam satu kesatuan yang tidak boleh dilanggar, serta membutuhkan waktu yang lama untuk merubahnya. Misalnya:
a.       Terikat budaya.
Reynecke (1997: 11-16) mendefinisikan budaya sebagai deposit pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, catatan tentang waktu, peranan, relasi tertentu, konsep universe, objek material, dan pemilikan yang diakui oleh satu kelompok manusia yang kemudian diwariskan dari suatu generasi kegenerasi lain. (Liliweri, 2014, 276)
Konsep diatas menggambarkan keterikatan masalah dengan budaya adalah kumpulan perilaku manusia yang didasarkan pada manusia itu sendiri, namun dari semua kumpulan yang disebut deposit tidak dapat terhindar dari masalah atau konflik. Karena masalah atau konflik bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Khususnya untuk mengatasi faktor lintas budaya dalam penyelesaian konflik: Perhatikan bukan hanya bahasa lisan, tapi juga "bahasa tubuh" orang dari budaya lain. Berusaha untuk mengerti dan menghargai pola pikir, tingkah laku, nilai-nilai dan hal-hal yang dirasakan penting oleh orang dari budaya lain. Berusaha untuk berperilaku dan berkomunikasi dengan cara yang akan dipahami dan diterima oleh orang dari budaya lain.


b.      Kita harus terus belajar dari konlik
Manfaat mempelajari konflik antara lain, agar kita dapat mengetahui siapa-siapa yang terlibat dalam konflik; sumber atau sebab terjadinya konflik; proses terjadi (dinamika) konflik; mengetahui akibat-akibat teradinya konflik; mengetahui ruang fisik dan nonfisik; (geografis, sosilogis, antropologis, dan sosial budaya) tempat dan waktu terjadinya konflik; mengetahui dan membedakan hakikat konflik; kompetisi atau persaingan; mengetahui tipologi, bentuk dan pola perilaku, dinamika, struktruk dari setiap konflik, mengetahui interaksi dan relasi antara beragam konflik dari berbagai level,mulai dari level antar personal, antar kelompok dan komunitas, antar komunal bahkan antar bangsa; mengetahui dampak dari sebuah konflik terhadap semua level interaksi antar manusia, menganalisis mengapa dan bagaimana terjadinya konflik, mulai dari menganalisis mengapa ada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menganalisis mengapa sumber-sumber konflik memengaruhi keterlibatan pihak yang terlibat, menganalisis metode, teknik, dan strategi yang tepat untuk mencegah da menyelesaikan konflik dan terakhir memberikan saran kepada pihak-pihak yang terlibat konflik atau pihak lain yang sangat membutuhkan pendekatan, pencegahan, penyelesaian, serta usaha-usaha memelihara kerja sama dan consensus terhadap semua pihak. (Liliweri, 2014, 333)[5][6]
Dari pemikiran diatas, dapat dipahami bahwa dengan konflik, manusia dipaksa untuk menemukan jalan pikir. Dengan mengunakan pendekatan-pendekatan baik secara ilmiah, sehingga dalam pemecahan konfliknya pun menjadi acuan pedoman bagi setiap manusia untuk dapat berperilaku baik. Dengan konflik, orang mulai belajar untuk memahami sesuatu dari setiap konflik yang ada. Mengapa, karena konflik adalah bagian yang tidak dapat terhindarkan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu konflik adalah seni kehidupan manusia yang memberi makna atau nilai yang tak terhingga.
c.       Harus terus menerus sadar
Setelah seseorang berhasil: (1) membangun percaya diri, (2) “beralamat sendiri”, (3) mampu mengatur diri, (4) mengembangkan diri, (5) mengangkat diri (6) mampu memperhatikan, dan (6) mampu mengupayakan; adakalanya upayanya tersebut belum berhasil. Untuk itu, ia jangan berputus asa, atau jangan patah semangat. Saat itulah ia berkesempatan memanfaatkan kemampuan sadar-dirinya.
Sebagaimana diketahui, sadar diri adalah kemampuan seseorang dalam mengetahui tentang adanya atau terjadinya sesuatu pada dirinya, yang dengan itu ia bangkit dan mampu mengambil suatu keputusan, pilihan, atau upaya yang tepat dalam melakukan perbaikan untuk mencapai kebajikan. Sadar diri bermanfaat bagi seseorang, terutama ketika ia ingin mengetahui posisinya dalam berinteraksi dengan orang lain atau masyarakat. Berdasarkan posisi inilah ia dapat mengambil suatu keputusan, pilihan, atau upaya yang tepat dalam melakukan perbaikan untuk mencapai kebajikan.
Agar mampu sadar diri seseorang perlu memiliki informasi dan pemahaman yang memadai tentang dirinya dan kebajikan yang diperjuangkannya. Informasi ini diperlukan agar ia mengetahui jarak antara dirinya dengan kebajikan. Bila antara dirinya dengan kebajikan terdapat jarak yang terlalu jauh, maka ia harus berupaya mendekatkan kualitas dirinya dengan kebajikan. Dengan kata lain, kualitas dirinya harus sesuai dengan kebajikan.
karena itu, seseorang perlu terus menerus memiliki ketertarikan pada kebajikan, dengan cara terus menerus memperbarui informasi dan pemahaman yang memadai tentang kebajikan. Seseorang yang sadar diri juga berikhtiar dengan bersikap, bahwa balasan atas suatu penderitaan yang dialami haruslah sesuatu yang membajikkan.
d.      Bersedia menanggung resiko dan berbuat salah
Dari mulai lingkungan keluarga terkecil, kadang kita tidak berani mengaku salah, kepada istri, kepada anak, kepada keluarga terdekat, kata maaf lebih susah untuk terucap. Bertanggung jawab lebih susah dilakukan kepada orang-orang terdekat kita. Di lingkungan pekerjaan dan masyarakat juga sama, semakin banyak orang yang berani berbuat, tapi lupa dan lari dari kewajiban untuk bertanggung jawab. Ada orang yang hobinya memanfaatkan orang lain, kemudian memetik hasil kerja keras orang lain,  ada juga orang yang sibuk menyalahkan orang lain ketika masalah datang, demi keselamatan diri sendiri. Mereka ada dimana-mana, dan salah satunya mungkin kita. Sungguh luar biasa, saking anehnya tidak memahami bahwa kita adalah seorang pengecut.
Berani berbuat tapi tidak berani bertanggung jawab, sering terjadi di kehidupan kita. Jangan-jangan inilah kepribadian kita yang baru. Pribadi pengecut, pribadi penjilat, demi kepentingan sendiri, mempersulit orang lain.Mudah-mudahan kita semua segera sadar, dan berani bertanggung jawab atas segala perbuatan yang kita lakukan.
2.  Mencari Hikmat dalam mencegah konflik di jemaat
Integritas pelayanan tidaklah sederhana atau otomatis. Akan tetapi etika pelayanan bertumpu pada pemahaman yang benar tentang panggilan pelayanan. Untuk itu persyaratan yang etis adalah pemahaman yang jelas tentang panggilan pelayanan. (Trull dan Carter, 2014, 17, 18).
Dari pandangan diatas, dapat dikatakan bahwa panggilan pelayanan merupakan proses yang sadar untuk menciptakan konsep pelayanan yang benar. Prisnsip pelayanan menjadi hal yang urgen untuk ditegakkan dalam menunjang profesi pelayanan di jemaat.
Karakter adalah “orientasi moral” batin yang membentuk hidup kita menjadi pola-pola yang bermakna dan terduga, maka pelayanan Kristen harus menginternalisasikan tuntuntan-tuntutan dan batas-batas kehidupan professional sampai titik berlaku etis hampir setiap waktu seolah secara naluri. (Trull dan Carter, 2014, 55, 56).
Kenyataan ini, bahwa watak mempengaruhi perbuatan, mempengaruhi pendekatan, terhadap etika pribadi social. Oleh karena itu tugas utama etika sosial Kristen bukanlah menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih adil, melainkan menolong orang Kristen membangun masyarakat yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Peristiwa konflik sebagai suatu kejadian yang alamiah seiring dengan dinamika dan perkembangan organisasi. Keberadaan konflik tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap interaksi antar individu maupun antar kelompok. Konflik Pelayanan di Jemaat Imanuel Kolhua dan Mata Jemaat Ebenhaezer Iungboken.
Penelitian ini berusaha menangkap potret pergumulan gereja-gereja di Indonesia yang sejak Sidang Raya X DGI / PGI di Ambon tahun 1984, berkomitmen untuk “memasuki sejarah bersama”. Jangka waktu tiga decade LDKG (atau kemudian menjadi DKG) memberi banyak pelajaran bagi arak-arakan Oikumenis tersebut, sekaligus memberi kita informasi persoalan-persoalan dasar yang harus dihadapi dalam menentukan arah gerak oikumenis berikutnya. (Tim Peneliti Sutanto dkk, 2015, 78).
Berdasarkan sejarah gereja diatas maka, saya berpendapat bahwa persoalan atau konflik gereja dalam jemaat menjadi pegumulan tersediri untuk menjaga keutuhan gereja. Namun dengan setiap persoalan atau konflik yang ada digereja harus mengevaluasi diri. Dengan mengevaluasi diri maka gereja harus memperbaiki dengan tujuan jemaat bertumbuh dan semakin mandiri dalam mengimani Kristus.
Aldag, R. J. dan Stearns, T. M. (1987;415); Robbins, S. P. (1990) membagi transisi pemikiran tentang konflik kedalam tiga fase yaitu, pandangan tradisional (traditional view of conflict), pandangan hubungan manusia (human relations view of conflict), pandangan interaksionis / pluralis (interactionism / pluralistic view of conflict). Pandangan tradisional terjadi pada dasa warsa 1930 sampai tahun 1940 an. Pada waktu itu konflik dipersepsikan sebagai peristiwa yang negatif dan identik dengan kekacauan, destruktif dan dapat merugikan kelangsungan organisasi, karena itu dicegah dan bila perlu ditiadakan.
Pandangan tradisional konsisten terhadap sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok sehingga mempunyai konotasi negative (disfungsional) sebagai dampak dari komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan diantara anggota, dan pimpinan tidak tanggap terhadap aspirasi dan kebutuhan para kariawan atau yang menjalankan tugas aras yang paling bawah. (Wahyudi, 2011, 15. Cetakan ke IV)
Pandangan diatas mengambarkan suatu keresahan tentang dominasi pemikiran dalam satu pelayanan akan membawa dampak negatif dan dalam kondisi tertentu akan mengacam kelangsungan pelayanan. Pandangan ini tidak ideal dalam satu pelayanan, akan tetapi mendorong untuk menciptakan sistem yang memperlambat pertumbuhan suatu pelayanan dalam jemaat. Bahkan lebih dari pada itu pandangan ini akan sangat sulit menerima perubahan kearah yang lebih baik.
Pandangan hubungan manusia berkeyakinan bahwa manusia merupakan faktor penentu dalam pencapaian tujuan. Karena itu penghargaan dan perlakuan secara manusia serta menciptakan iklim yang kondusif yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan. fase pendekatan hubungan manusia berpangan bahwa konflik merupakan peristiwa yang normal dalam interaksi individu atau kelompok dalam organisasi. Konflik sebagai kejadian yang tidak dapat dihindari dan keberadaan konflik dapat memacu dinamika organisasi. (Wahyudi, 2011, 15. Cetakan ke IV)
Pandangan in sangat tepat dengan kondisi saat ini karena dengan konflik yang terjadi akan merangsang paradigma seseorang untuk mencaritau dan menemukan jalan keluar. Akan tetapi diperlukan sumber daya manusia dan hikmat untuk mengelolanya secara baik, yang bertujuan untuk menciptakan dinamikan positif meskipun menurut pangan orang lain negatif. Disini membutuhkan komitmen dan kemauan untuk tidak dipengaruhi oleh apapun, namun hanya untuk kepentingan perubahan yang lebih baik.
Pandangan interaksionis atau pluralis berusaha menstimuli dan menciptakan konflik apabila diketahui kelompok bersifat statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap perubahan dan inovasi. Kontribusi dari pandangan ini adalah mendorong pemimpin untuk mempertahankan suatu tingkat konflik yang optimal yang dapat menciptakan inovasi, tenggap terhadap perubahan, kreatif dan cepat beradaptasi dan kristis terhadap kegiatan internal organisasi dalam pelayanan kepada jemaat. (Wahyudi, 2011, 15. Cetakan ke IV)
Pandangan ini dapat dijalankan apabila, dalam setiap sisi pelayanan yang dilakukan kepada jemaat memiliki tingkat sumberdaya manusia yang baik, system organisasi gereja yang akuntabel, transparan, mampu mengelola konflik secara tepat. Karena dalam menciptakan konflik, kalau tidak di kemas secara baik maka berimplikasi pada proses yang memberi dampak pada perpecahan. Konflik bisa saja terjadi dalam organisasi gereja atau lembaganya, oleh karena itu dibutuhkan peran para presbiter dalam menjalan tugas-tugas organisasi gereja. Tugas – tugas dalam organisasi gereja terdapat dua jabatan inti Yaitu jabatan pelayanan dan jabatan organisasi.
Pada bagian ini, akan membahas tentang tugas, peran atau fungsi organisasi gereja dalam pelayanan di jemaat yang secara kelembagaan memilik masalah yang konfleks,; untuk itu akan dibahas tentang bagimana tugas, peran dan fungsinya masing-masing.
2.5.Teori-teori konflik
Menurut Tourine dalam (2010:152) gerakan sosial mesti dipahami sebagai suatu tipe khusus dari konflik social. Sebuah konflik terdapat actor-aktor yang bertentangan atau bersaing serta sumber daya yang mereka perebutkan. Lebih lanjut konflik melalui tahapan taruhan yang dianggap bernilai dihasratkan oleh dua atau lebih pihak yang bertentangan melibatkan sekumpulan actor secara terorganisir, taruhan nilai dan pergumulan / kompetensi untuk mencapai apa yang dipertaruhkan. Secara harfiah didalam kamus oxford konflik dimaknai sebagai srious disagreement, serious difference of opinion antara satu pihak dengan pihak lain (Hornby: 1995, 241).
Dalam konflik yang penulis angkat merupakan fenomena yang diaktorkan oleh individu atau kelompok manusia. Konflik dapat terjadi karena bisa saja di skenariokan oleh kelompok intelektual untuk tujuan tertentu. Dalam pertikaian individu atau kelompok pasti ada sebab dan akibat, sebab disini merujuk pada orang yang merancang, mungkin melalui kekuasaan (soal kebijakan), atau soal kesalapahaman, atau terbentur dengan perkembangan sosial yang ada karena berkaitan dengan harkat dan martabat orang atau kelompok yang berkonflik. Untuk dapat mempermudah pemahaman tentang konflik, sebab-sebab dan dampak, dapat penulis tampilkan teori-teori konflik sebagai resep untuk mendapat konsep riset yang akurat dan afektif, antara lain sebagai berikut:




a.       Teori Instingtifis
Teori ini berbicara mengenai naluri manusia yang berperilaku baik dan buas, manusia dalam kondisi tertentu bisa saja menjadi pemangsa yang amat buas terhadap manusia yang lain. Perilaku seperti ini dapat kita mengerti seperti naluri kebinatangan yang berada dalam diri manusia, yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi makluk yang sangat buas. Insting juga dapat menjadi domain penting dalam segala aktifitas manusia karena berpotensi pada perilaku yang muncul dari manusia itu sendiri.[7][8]
b.      Enviromenmentlis dan Behavioris
Menurut pemikiran teori ini bahwa perilaku manusia secara eksklusif diciptkan oleh factor-faktor lingkugan yakni oleh masyarakat dan budaya – bukan oleh factor-faktor “bawaan”. (Fromm Erich, 2000,33).
Pandangan behavioristik mengenai agresi secara ringkas, mendefenisikan agresi sebagai “respons yang memberi stimuli berbahaya kepada organism lain”. Ada 2 alasan untuk menarik keluar konsep maksud dari agresi , pertama, konsep ini mengimplikasikan teleologi, tindakan yang bertujuan yang terarah pada tujuan dimasa depan dan pandangan ini tidak sejalan dengan pendekatan behavioral yang digunakan dalam buku ini. kedua dan yang lebih penting adalah sulitnya menerapkan batasan ini pada peristiwa-peristiwa behavioral. Maksud merupakan peristiwa pribadi yang mungkin atau mungkin tidak dapat diungkap secara lisan atau diungkap secara akurat dalam pernyataan verbal.
Kita barangkali telah terbina untuk meyakini bahwa maksud sangat dipengaruhi oleh riwayat pembiasaan suatu organism. Jika respon agresif telah dibiasakan secara sistematis dengan akibat tertentu, misalnya: dengan ancaman pembunuhan sang korban akan melarikan diri, maka perulangan respon agresif tersebut boleh dikata “maksud agar sang korban lari terbirit-birit”. Namun demikian, jenis pengaruh ini tidak ada gunanya dalam analisis perilaku, akan lebih bermanfaat bila mengkaji secara langsung hubungan antara riwayat pembiasaan suatu respon agresif dengan situasi mendadak yang memicu respons tersebut. [9]
Maksud adalah sesuatu yang tidak diperlukan dalam menganalisis perilaku agresif. Akan tetapi yang menjadi persoalan penting adalah sifat konsekuensi pembiasaan yang mempengaruhi timbul dan kuatnya respon-respon agresif. (Fromm Erich, 2000,346-47).
Sifat seperti ini sangat berbahaya karena akan sangat dengan cepat merespons segala gejolak yang terjadi pada lingkungan sekitar serta berpengaruh pada sikap cepat agresif menanggapi sesuatu dengan sangat emosioanal. Hal ini akan membawa dampak pada perubahan psikologi yang mendorong untuk berbuat tanpa berpikir terlebih dahulu dalam arti akal sehat menjadi bagian terkahir.
c.       Neurofisiologi
Livingston dalam Erich Fromm, dalam observasinya mengenai hubungan antara psikologi dan neurofisiolgi, titik temu akan dicapai antara psikologi dan neurofisiologi bila sejumlah besar ilmuan telah memiliki dasar yang kuat dalam kedua disiplin tersebut. Seberapa besar manfaat dan jaminan dari tercapainya suatu titik temu masih perlu dikaji lebih lanjut. Meski demikian, telah didapati adanya wilayah penelitian baru dimana para pakar perilaku dapat memanipulasi otak samping juga lingkungan dan dimana para pakar otak dapat memanfaatkan konsep dan teknik behavioral. Banyak upaya tradisional untuk mengidentikkan kedua bidang tersebut yang berakhir sia-sia. Kita harus aktif meningggalkan kepicikan dan perseturuan antara kedua disiplin ini. sebenarnya siapakah yang kita perangi? Tentunya kebodohan dalam diri kita.
Meski saat ini telah banyak kemajuan, sumber-sumber yang diperlukan untuk penelitian dasar bidang psikologi dan neurofisiologi masih relatif sedikit. Persoalan-persolan yang perlu segera diselesaikan justru sangat sulit dipahami, pemahaman hanya dapat ditingkatkan melalui upaya kita memodifikasi konsep-konsep terkini. Konsep-konsep ini pada gilirannya hanya akan dapat diubah dengan upaya eksperimental dan teorik yang kaya akan sumber-sumber (Fromm, 2000, 119).
d.      Teori hubungan masyarakat
Teori ini mengatakan bahwa oleh polarisasi yang terus terjadi, termasuk didalam terjadinya ketidak percayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu organisasi. Sasaran yang ingin dicapai oleh profokator konflik adalah menciptakan polarisasi antar personal dan kelompok organisasi serta menciptakan situasi dan kondisi kesemrawutan dalam organisasi agar dapat memberikan citra negative terhadap organisasi. Sebaliknya ancangan teori ini dapat membantu kita menganalisis polarisasi antar personal dan kelompok, merencanakan perbaikan kondisi kesemrauwutan dalam organisasi, serta meningkatkan peranan humas organisasi untuk memperbaiki citra organisasi. (Wahyudi 2011, 14)
Mencermati teori diatas, maka sepakat dengan teori ini karena terdapat konsep resolusi yang membangun dan untuk menciptakan pola pemecahan masalah yang untuk mendapatkan nama baik dari suatu organisasi atau institusi. Hal ini akan sangat membantu para anggota organisasi untuk terus melakukan peradaban pada semangat organisasi, dengan tujuan mencapai misi dari organisasi tersebut.
e.       Teori negosiasi prinsip.
Teori ini mengemukakan bahwa konflik dalam organisasi disebabkan oleh perbedaan status dan posisi antara berbagai individu dan kelompok kerja dalam organisasi. Termasuk dalam kategori ini perbedaan tanggapan terhadap posisi berbagai pihak dalam organisasi ketika individu, kelompok kerja maupun organisasi berhadapan dengan masalah organisasi. Bagi para provokator konflik, asumsi teoritis ini dapat digunakan untuk merekayasa perbedaan-perbedaan prinsip untuk mendorong terjadinya konflik dalam organisasi. Sebaliknya pendekatan dapat membimbing kita untuk menganalisis dan mencari jalan keluar bagi setiap usaha yang memanipulasi prinsip-prinsip tersebut diatas menjadi sumber konflik. (Liliweri 2014, 355 )
Dari pandangan teori diatas, penulis tidak sepakat karena teori ini akan menciptakan suasana kerja yang tidak efektif dan konflik akan terus terjadi sebuah organisasi. Persoalan prinsip sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip organisasi. Mengapa! Karena prinsip secara individu jangan dibawah kedalam organisasi karena hanya akan menciptakan keegoisan dalam organisasi yang terus berdampak pada keberlangsungan organisasi.



f.       Teori kebutuhan manusia
Teori ini mengatakan bahwa dalam organisasi berakar dari perbedaan riil atas akses setiap individu atau kelompok, ketika berusaha untuk mencapai atau memenuhi kebutuhan dasar demi kehidupan anggota organisasi dalam masyarakat. Berbagai kebutuhan manusia, seperti kebutuhan fisiologis, sosiologis, psikologis mungkin tidak seluruhnya akan dipenuhi oleh seseorang hanya karena seseorang, termasuk sebagai anggota sebuah organisai. Jika kesenjangan antara usaha untuk memperoleh atau memenuhi kebutuhan itu mungkin besar, maka makin besar pula peluang terjadinya konflik. (Wahyudi, 2011, 15)
Sependapat dengan teori ini karena Para provokator konflik mengandalkan asumsi teoritis ini untuk menciptakan konflik dengan menyebar isu-isu kesenjangan sosial, kesulitan memperoleh akses, atau memperoleh kebutuhan hidup. Sebaliknya berdasarkan teori ini, kita dapat menganalisis dan merencanakan untuk memenuhi kebutuhan para anggota organisasi. Artinya kita dapat membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan mencapai kesepakatan bersama atas kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi agar dapat menghasilkan pilihan-pilihan memenuhi kebutuhan itu.
g.      Teori identitas
Menurut teori ini, konflik disebabkan karena adanya ancaman riil terhadap identitas seseorang dalam organisasi, misalnya berusaha untuk mengurangi bahkan menghilangkan identitas individu maupun kelompok dalam organisasi. Para provokator konflik menggunakan analisis teoritis ini untuk menciptakan peluang atau malah menganjurkan / menekan organisasi untuk mengurangi atau menghilangkan identitas seseorang dalam organisasi. (Liliweri, 2014, 356)
Oleh karena itu, Sebaliknya bagi kita teori ini harus dapat diaplikasikan sebaik-baiknya karena melalui fasilitasi dialog antar pihak-pihak yang mengalami konflik diharapkan akan dapat teridentifikasi  ancaman-ancaman dan ketakutan yang dirasakan masing-masing pihak sehingga terbangun empati dan rekonsiliasi diantara mereka; dan meraih kesepakatan bersama demi pengakuan, penemuan kembali identitas pokok yang telah pudar atau hilang.
h.      Teori Transformasi Konflik
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak selarasan dan ketidak adilan yang muncul sebagai masalah-masalah laten dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi yang dampaknya “dirasakan” juga oleh organisasi. Para provokator konflik sering menciptakan konflik tentang ketidak mampuan organisasi untuk memecahkan masalah-masalah ketidak seimbangan kehidupan sosial, kesenjangan sosial, kesenjangan budaya, dan ekonomi untuk menciptakan konflik dalam organisasi.
Meskipun demikian teori ini bermanfaat bagi kita agar dapat menyusun suatu strategi untuk mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang dapat memecahkan masalah ketidak setaraan dan ketidak adilan, termasuk kesenjangan ekonomi; menigkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang diantara pihak-pihak yang mengalami konflik dan mengembangkan berbagai proses dalam sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan.
i.        Teori kesalah pahaman antar budaya
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebakan oleh kesalahpahaman dalam tafsir simbolik pesan antar budaya yang bersumber dari kurang atau tidak memahami hakikat komunikasi antar budaya dan komukasi antar lintas budaya. Misalnya, perbedaan etnik sebagai faktor munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, primordialisme, etnosentrisme dalam oragnisasi yang menciptakan organisasi yang bersifat etnokrasi. Meskipun demikian teori ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi stereoptip negative yang mereka miliki tentang pihak lain dan meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. (Liliweri, 2014, 356).[10][11]
2.6. Hikmat sebagai resolusi konflik
Akhir-akhir ini istilah resolusi konflik lebih marak digunakan daripada manajemen konflik. Resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi terjadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik. Metode resolusi konflik sangat membantu untuk mengetahui sifat dan fungsi konflik, membedakan bentuk konflik produktif dengan deskruktif dan mengidentifikasi strategi dan resolusi konflik. (Liliweri, 2014, 342, 343)[12]
Pandangan diatas mengambarkan tahapan penyelesaian masalah, dan tahapan ini adalah cara yang umum dalam penyelesaian konflik. Untuk mengetahui tahapan berhasil tidaknya resolusi maka evaluasi menjadi alternatif untuk menjawab segala dinamika yang terjadi. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui perkembangan penyelesaian masalah. Bahkan dapat menemukan cara baru dalam tahapan penanganan konflik berdasarkan jenis dan tingkat kerumitan penyelesaian konflik.
a.       Pengantar resolusi konflik
Resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meniliti strategi terjadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik. Resolusi konflik difokuskan pada sumber dasar dari konflik antar dua pihak, agar mereka bersama-sama mengidentifikasi isu-isu yang lebih nyata. Kalau dua pihak tidak setuju atau isu yang sudah digariskan, maka kita membutuhkan negosiator.
Seorang negosiator atau fasilitator itu penting ketika konflik makin luas dan tidak dapat ditekan, karena sudah mengandung emosi dan ancaman. Konfrontasi positif adalah teknik resolusi konflik ideal, yang melibatkan didalamnya kekuasaan dan hati nurani. Konfrontasi positif meliputi resolusi tanpa kekerasan, menghindari atau menjauhkan kekejaman serta menolak perasaan atau kepercayaan yang berlebihan.[13][14]
Prinsip umum resolusi konflik adalah don’t fight – solve the problem (tidak menjauh dari masalah tetapi menyelesaikan masalah). Oleh karena itu dalam semua pelatihan resolusi konflik, para peserta diberikan dua keterampilan dan kemampuan untuk menjadi negosiator atau meditor konflik yakni:
1.      Keterampilan atau kemampuan untuk berdiskusi atau berdialog, seperti keterampilan berkomunikasi, keterampilan mendengarkan efektif, keterampilan menggali kebutuhan yang menjadi sumber konflik, kemampuan untuk mempertemukan dua pihak dan kemampuan untuk menekan timbulnya masalah berpihak.
2.      Menjalankan teladan pemecahan masalah seperti hadapi masalah, bukan orang: jelaskan apa yang anda lihat, bagaimana pendapat anda dan bagaimana reaksi anda terhadap orang atau situasi yang dilihat, rumuskan apa yang dilihat secara herbal, mengerti benar perasaan dan perilaku anda, beralih dari pembenaran ke pemecahan, melihat kedepan karena disana ada peluang daripada melihat kebelakang untuk saling mempersalahkan, analisis situasi dan tekankan pandangan anda dari dua sisi, identifikasi butir-butir tertentu dimana anda dapat melakukan kompromi dan terbukalah pada setiap hasil yang positif.
b.      Hikmat dan resolusi
Hikmat dalam perjanjian lama (umumnya dipakai khokhmah, meskipun dipakai juga kata lain , ump: bina,’ Ayub 39: 20; tevuna,’ kebijakan’, Mzm 136:5) senantiasa adalah praktis bukan teoritis. Pada dasarnya hikmat adalah kepintaran mencapai hasil menyusun rencana yang benar untuk memperoleh hasil yang dikehendaki. Tempat kedudukanya ialah hati , pusat keputusan moral dan intelektual (bnd. 1 Raj 3:9, 12).
Hikmat dalam arti utuh dan mutlak hanya milik Allah. Hikmat-Nya mencakup bukan hanya sempurnanya dan lengkapnya pengetahuan-Nya mengenai setiap segi bidang kehidupan. Tetapi juga mencakup kedaulatan-Nya menggenapi tuntas apa yang ada dalam piran-Nya dan yang mustahil dapat digagalkan. Alam semesta dan manusia adalah buah karya hikmat-Nya yang kreatif. Proses-proses alami dan historis dibawah kendali Hikmat-Nya meliputi pebedaan sempurna antara baik dan jahat dan merupakan dasar untuk pahala dan hukuman yang diperoleh orang benar dan orang jahat.[15]
Hikmat alkitabiah adalah sekaligus bersifat agamawi dan praktis,dan berasal dari’ Takut Kepada Tuhan. Hikmat berkembang menyentuh segenap hidup, seperti ditunjukkan dan dijelaskan secara luas dalam Ams. Hikmat memperoleh pengetahuan yang dikumpulkan dari pengetahuan tentang jalan-jalan Allah dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari.(Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, 2013, 391-392)
Pandangan diatas dapat kita lihat pada kitab amsal 1 ayat 7 “ Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina Hikmat dan didikan”. Kutipan ayat ini menjadi dasar bahwa untuk dapat mengelola konflik dengan baik maka dibutuhkan kecerdasan, kepintaran untuk menyelesaikan konflik. Maksudnya bahwa dengan Takut akan Tuhan, maka seseorang memiliki hikmat untuk menyelesaikan atau mengelola konflik secara professional yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian.
c.       Teologi rekonsiliasi
Sebagai orang-orang beriman harus menyadari bahwa pengampunan dan rekonsiliasi bukanlah sesuatu yang secara otomatis bisa diperoleh. Hal ini bukanlah sesuatu yang harganya murah karena pengampunan dan pengakuan harus didahului oleh sesuatu yang ketiga, yaitu – perbuatan perbuatan yang merupakan isi pengakuan. Entah perbuatan yang meninggalkan luka dan maut, perbuatan yang disertai kebencian, kerusakan dan kerusuhan, perbuatan yang mala terlalu sering dilakukan dengan tidak memperlihatkan sedikitpun penghargaan atau penghormatan manusia terhadap korban perbuatan itu. Karena itu diantara pengakuan dan pengampunan ada sesuatu yang mengambil sikap terhadap perbuatan yang mendahului dan menyebabkan semua masalah. (Schumann Hertbert Olaf,  cetakan ke- 2, 2015, 476-477).[16]
Dari pandangan diatas, mengambarkan bahwa rekonsiliasi bukan hal mudah, seperti halnya pengorbanan Yesus diatas kayu salib yang mengorbankan nyawa-Nya untuk menebus dosa manusia. Yesus menunjukkan contoh rekonsiliasi yang berhasil dilakukan dengan sempurna karena Dia menjadi sang mediator yang berhasil mendamaikan Allah dengan manusia dan menebus dosa manusia serta melakukan penyelamatan yang sempurna.[17]
Gereja mendefenisikankan misinya dalam kaitannya dengan Allah Tritunggal. Gereja mengakui keterkaitannya dengan setiap pribadi Allah dalam mengerjakan keselamatan dan dalam kehidupannya sendiri gereja merangkul persekutuan dan keragaman yang diekspresikan dalam Ketuhanan. Pelayanan misi tidak diprivatisasi atau diindividualisasi. (Gibbs Edsie, 2012, 90)
Gereja dalam menjalankan misinya tidak dipengaruhi oleh kepentingan golongan atau kelompok, karena gereja menempatkan fungsi sebagai penyambung atau alat dalam menyatakan karya Allah. Gereja membawa misi besar untuk memberikan terang kepada semua orang tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Gereja harus menjangkau dengan sikap kasih yang tanpa syarat. Gereja tidak hanya harus menjangkau orang-orang dimanapun mereka berada tetapi juga menerima mereka sebagaimana adanya mereka. Namun, sikap seperti ini jangan ditafsirkan sebagai sikap toleransi terhadap gaya hidup yang mungkin obsesif atau merusak diri. Sikap inklusif selalu mempunyai pandangan kearah transformasi karena berita injil menghadirkan pembebasan dan pemberdayaan.
Komitmen gereja pada transformasi tidak terbatas pada individu tetapi lebih luas lagi sampai menjangkau komunitas geografis dimana gereja ditempat dan jaringan non geografis dimana gereja terlibat. Gereja-gereja misional menyadari bahwa mereka menghadirkan tanda-tanda sekaligus merupakan hamba dari pemerintahan Allah. Namun, mereka sendiri dalam proses sedang menjadi, mereka adalah tanda-tanda ambigu dan hamba-hamba yang tidak layak. Ketika menarik orang-orang pada kerajaan Allah, gereja yang misional harus selalu menunjuk melampaui dirinya sendiri. (Gibbs Edsie, 2012, 90)
Hal ini merupakan sikap dan fungsi gereja yang menyadari akan keberadaanya sebagai karya Allah yang terus memberdayakan diri untuk mendapatkan penyertaan Allah. Gereja tanpa penyertaan Allah adalah Mati. Mati dalam arti rohani, gereja tersebut tidak akan bertahan lama. Oleh karenanya gereja harus benar memberdayakan dirinya untuk memberikan transformasi iman yang terus bertumbuh. Tujuannya adalah supaya gereja dapat mengimbangi kemajuan teknologi dan tidak mendekradasikan iman jemaat di masa kini dan masa yang akan datang.
Keselamatan tidak ada dalam siapanpun juga selain didalam Dia, sebab dibawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (kisah para rasul 4:12). Ketika nama yang dimaksudkan disini juga disebutkan kita mendapatkan kartu pengenal agama Kristen: Yesus dari Nasaret (10). Keduanya berkaitan erat Yesus yang dilahirkan entah dimana (di Betlehemkah? Di Nasaretkah?), yang dihukum mati dan dibunuh dikayu salib oleh penguasa oleh penguasa Romawi di kota Yerusalem sebagai seorang manusia yang biasa dan dikenal banyak orang pada masa-Nya. Dan sekaligus juga Kristus, gelar Yahudi bagi suatu pribadi yang menurut mereka akan menyelamatkan mereka dari kuasa penindasan asing dibumi ini. Sementara orang yahudi masih tetap menunggu kedatangan sang Kristus (Meshiah, Mesias), orang Kristen mengganggap sosok itu sudah datang dalam diri Yesus, dank arena itulah mereka memberikan gelar itu kepada-Nya. Kemudia, mereka dikenal sebagai umat yang mengikuti contoh hidup dan ajaran Yesus Kristus itu. Dalam paham Yahudi waktu itu, mereka mengikuti Kristus, “jalan”-Nya, sehingga mereka disebut “Christianoi”, pengikut Kristus (Kisah para rasul 11:26). (Schumann, 2015, 453. Cetakan ke 2) 
Kedatangan Yesus kedunia adalah untuk mendamaikan manusia dengan Allah sehingga tidak ada lagi jurang pemisah antara manusia dengan Allah yang disebabkan oleh dosa. Dari kisah Yesus dapat dipelajari bahwa manusia telah membangun kesalahan dan berkonflik dengan diri sendiri dan Allah dalam dunia. Sehingga Allah mengadakan perubahan dengan cara menebus dosa manusia untuk diperdamai kan dengan Allah. Hal ini tentunya merupakan contoh pengorbanan untuk menyelesaikan segala konflik yang terjadi dalam dunia.
Oleh karena itu Yesus menggunakan banyak cara dalam menyelesaikan segala konflik yang ada dan yang dihadapi oleh manusia dengan beberapa langkah-langkah diantaranya: membangun kembali manusia yang telah rusak oleh dosa, membekali dengan iman dan berperang melawan kuasa kegelapan. Dari contoh langkah-langkah sederhana ini dapat kita pahami bahwa Yesus memiliki cara yang unik dalam meyelesaikan konflik meskipun Ia di cobai oleh ahli-ahli taurat bahkan iblis namun Ia mampu meyelesaikannya dengan tenang, sabar, mura hati dan tetap terlihat tidak takut. Ini menunjukkan bahwa Yesus berhasil menggunakan cara-cara ini untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Gereja sebagai alat dalam memberitakan injil harus tetap tenang, sabar, mura hati dan terlihat tidak takut seperti yang di buat oleh Yesus. Mengapa? Karena gereja saat ini mengalami banyak sekali hambatan, tantangan, masalah bahkan konflik. Sehingga gereja perlu bertindak secara cepat untuk menyelesaikan masalanya.
Untuk itu gereja dalam sistem kelembagaan dan pelayanan memiliki kepala yaitu “Yesus Kristus” dan gereja tidak bergantung pada organisasi manapun. Gereja adalah independen yang dapat memberikan jalan kebenaran sehingga gereja dapat dikatakan sebagai berikut:
a.       Tiap-tiap Gereja Adalah Otonom
Kalau kita berbicara hak otonomi gereja berarti setiap gereja itu berdiri sendiri, tidak pernah di bawah kuasa gereja manapun seperti yang dilakukan oleh sebagian denominasi. Pada abad pertama di dalam kitab Kisah Para Rasul kita dapat menemukan bahwa setiap gereja itu adalah independent (berdiri sendiri). Gereja di Yerusalem tidak memiliki kuasa atas gereja di Roma dan gereja di Efesus tidak memiliki kuasa atas gereja di Galatia, masing-masing gereja adalah berdiri sendiri. Orang-orang yang berada di luar gereja (orang yang bukan anggota gereja) tidak memiliki kuasa atas gereja. Baik pemerintah maupun penatua adat atau Pembimas (Depag) tidak memiliki hak dalam gereja.
Para penatua dan diakon dalam satu jemaat tidak memiliki kuasa untuk mengatur jemaat lain. Mereka (penatua-penatua) hanya memiliki wewenang di jemaat lokal yang mengangkat mereka menjadi penatua. Namun sesama gereja lokal memiliki tali persekutuan yang kuat dan bersatu sejauh mana gereja itu masih tetap mengikuti ajaran Kristus (Perjanjian Baru). Karena jaminan bagi gereja-gereja untuk tetap bersekutu satu sama lain adalah ajaran yang diikuti gereja-gereja tersebut.
Gereja-gereja yang mengikuti ajaran Kristus sekalipun mereka tidak saling kenal atau tidak saling mengetahui, namun mengikuti doktrin (ajaran) Perjanian Baru, gereja-gereja itu adalah tetap satu dan dapat bekerja sama untuk kemajuan jemaat-jemaat seperti; mengadakan retret bersama, saling bertukar pikiran, saling mendukung satu sama lain. Meskipun jemaat-jemaat di Kota Kupang misalnya saling mendukung kegiatan jemaat-jemaat tetapi tetap saling menghormati hak otonomi jemaat-jemaat Yang ada di tempat lain. Memang kadang-kadang sesama pemimpin-pemimpin jemaat sering sharing atau saling bertukar pengalaman dalam menghadapi masalah-masalah di jemaat masing-masing namun keputusan tetap di tangan pemimpin jemaat yang bersangkutan.
Sebagai contoh jemaat Imanuel Kolhua tidak berhak membuat keputusan untuk jemaat Paulus dan sebaliknya, jemaat Koinonia tidak berhak untuk membuat keputusan untuk mata jemaat Ebenhaezer Iungboken dan sebaliknya. Gereja Perjanjian Baru yang dibangun oleh Kristus adalah gereja yang menghormati hak otonom jemaat lokal, karena itulah yang berkenan kepada Kristus sebagai pemilik gereja.
b.      Setiap Gereja Memiliki Para Penatua
Keanekaragaman dalam bentuk organisasi jemaat-jemaat pertama juga nyata dalam tulisan-tulisan perjanjian baru. Jemaat yang dipengaruhi oleh Yohanes belum ada “tata gereja”, sebab ternyata seorang penatua (2 Yoh. 1;3 Yoh. 1) yang menentukan segala sesuatu. Jemaat Paulus kita menemukan berbagai-bagai petugas, diantaranya Penilik (episkopos = Uskup), penatua. (prebyteros) dan diakonos (syamas, diaken = pelayan). (Jonge dan Aritonang, 2015, 7. Cetakan ke – 9).
Dari gambaran diatas Roh Kudus dengan jelas menetapkan para penatua tiap-tiap jemaat pada abad pertama melalui syarat-syarat menjadi seorang penatua secara rinci. Dan setiap gereja Tuhan harus mengikuti syarat-syarat tersebut di atas. Para penatua di tiap-tiap jemaat bukanlah ditetapkan oleh manusia melainkan oleh Roh Kudus (Kisah Rasul 20:28).
Apakah Tugas Para Penatua itu? Perjanjian Baru sebagai pola gereja Perjanjian Baru dengan jelas menyebutkan tugas-tugas para penatua antara lain:
1.      Menjaga diri sendiri dan menjaga kawanan dan anggota jemaat (Kisah Rasul 20:28).
2.      Menggembalakan jemaat itu (Kisah Rasul 20:28). Berdasarkan ayat ini kita dapat mengambil keputusan bahwa gembala jemaat adalah para penatua bukan pendeta atau penginjil seperti yang dikatakan oleh denominasi.
3.      Membantu yang lemah (Kisah Rasul 20:35). Adalah wewenang para penatua untuk mengkoordinir bantuan kepada orang-orang yang lemah dalam jemaat manapun di luar jemaat. Para penatua harus mengenal baik anggota jemaat itu.
4.      Membangun anggota jemaat dengan ajaran sehat (Titus 1:4). Para penatua harus memahami ajaran yang ditetapkan dalam jemaat oleh para guru-guru di jemaat.
5.      Meyakinkan penentang-penentangnya (Titus 1:9). Para penatua harus berusaha untuk menuntun orang-orang yang membengkang ke jalan yang benar dengan penuh perhatian dan panjang sabar.
6.      Menegur orang-orang yang hidupnya tidak tertib (1 Tesalonika 5:14). Pekerjaan menunjukkan kepada kita bagaimana para penatua itu harus cermat dan penuh perhatian untuk mengawasi dan mengamati kehidupan anggota jemaat.
7.      Menghibur mereka yang tawar hati (1 Tesalonika 5:14). Para penatua yang berkewajiban menghibur anggota jemaat yang tawar hati karena keadaan atau tersandung atas perbuatan saudara-saudara yang lain.
8.      Bersabar terhadap semua orang (1 Tessalonika 5:14). Para penatua adalah orang-orang yang sangat sabar terhadap berbagai prilaku (sikap) orang-orang yang dibimbingnya maupun orang lain yang bukan anggota jemaat
9.      Harus menjadi contoh kepada anggota jemaat di berbagai hal (1 Petrus 5:2,3). Mengunjungi orang yang sakit (Yakobus 5:14).
10.  Mengawasi jiwa-jiwa anggota jemaat (Ibrani 13:17). Para penatua bertanggung-jawab untuk memperhatikan kerohanian anggota jemaat yang dilayaninya. Berdasarkan tugas-tugas para penatua ini, kita menyadari mengapa Allah menetapkan syarat-syarat menjadi seorang penatua, karena pekerjaan seorang penatua membutuhkan dedikasi yang tinggi seperti dedikasi yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus sebagai Gembala yang Agung.
c.       Setiap Gereja Perjanjian Baru Dewasa Harus Memiliki Diakon-diakon
Tugas para diakon tidak sejelas tugas-tugas para penatua, tetapi tanpa ragu-ragu kita mengetahui bahwa para diakon juga sama dengan para penatua adalah para pelayan dalam gereja. Di dalam Kisah Rasul 6:1-6, kita dapat melihat pengangkatan 7 diakon untuk jemaat di Yerusalem sebagai pelayan meja. Diakon dalam bahasa Yunani ditujukan kepada pelayan dalam bahasa Indonesia. Kalau penatua artinya pengawas atau pengatur maka diakon berarti pelayan.
Jadi berdasarkan pekerjaan kedua pelayan jemaat ini, kita tahu bahwa baik penatua maupun diakon tidak dapat dipisah satu sama lain. Walaupun dalam Kisah Rasul 6:3 tidak begitu banyak ditulisakan syarat-syarat menjadi seorang diakon, tetapi saya percaya bahwa syarat-syarat menjadi seorang penatua juga adalah merupakan gambaran yang dapat membantu kita untuk seorang diakon kalau kita mau jujur syarat-syarat menjadi seorang penatua juga adalah merupakan ciri khas kehidupan orang Kristen yang harus dilakukan oleh semua anggota jemaat. Hanya beberapa saja dari syarat-syarat penatua itu yang tidak mengikat orang Kristen seperti:
1.      Seorang yang baru bertobat (1 Timotius 1:6)
2.      Anak-anaknya hidup beriman (Titus 1:6).
Jadi, baik penatua maupun diakon adalah orang-orang berdedikasi tinggi terhadap gereja, karena mereka inilah penatua bagi jemaat. Jadi organisasi jemaat (gereja) itu adalah terdiri dari; Kristus sebagai Kepala gereja, Penatua sebagai pengawas gereja, Diakon sebagai pelayan meja di gereja, Penginjil sebagai pemberita injil di gereja, Anggota jemaat sebagai orang-orang yang dibina dalam gereja.
Dari pandangan tentang gereja, saya berpandangan bahwa meskipun desain organisasi dan aturan yang di buat dalam organisasi sudah memadai, namun konflik merupakan kondisi yang harus terus dipelajari. Oleh karenanya konflik dalam organisasi gereja atau pelayanan kepada jemaat membutuhkan hikmat atau kearifan untuk mencegah konflik-konflik yang terjadi.
Dengan segala tugas yang di emban oleh para pelayan gereja, maka telah menjadi keharusan untuk setiap ajaran gereja tentang Firman Allah dijadikan sebagai rekonsialiasi untuk mencapai resolusi dalam rangka menciptakan kehidupan yang lebih baik dalam jemaat. Hal ini dapat kita pelajari dari diri Yesus Kristus yang rela mengorbankan nyawa-Nya atas segala dosa yang dibuat oleh manusia. [18]
Secara teologi, cerita kematian Yesus menjadi resolusi bagi umat manusia yang terus berkonflik dengan dosa dan menjadi hamba dari dosa. Oleh karena itu Allah berinkarnasi menjadi daging untuk menjadi manusia, dengan tujuan agar Allah dapat bertemu langsung dengan manusia supaya manusia menjadi percaya bahwa Allah adalah penolong yang setia.
d.      Gereja dan Rekonsiliasi
Tidak dapat disangkal, bahwa didalam hidup sehari-hari kita dihadapkan dengan gereja sebagai lembaga, sebagai organisasi, dengan segala kesibukannya: kebaktian hari minggu, katekasasi, penyelidikan alkitab, komisi-komisi sekolah minggu, remaja, pemuda, wanita dan juga dewan gerejanya baik yang setempat maupun yang sewilayah atau yang bersifat nasional dan internasional dan lain sebagainya. (Hadiwijono, 2007, 390)
Gereja diperhadapkan dengan kenyataan bahwa setiap aktifitasnya telah diperhadapkan dengan organisasi yang mengisyaratkan model tersendiri dan lain dari organisasi sosial atau pemerintahan. Dalam menjalankan programnya tentu tidak terlepas dari tujuan dan tugas gereja untuk mewartakan injil kebenaran Allah. Dalam gereja sendiri terdapat jabatan-jabatan secara organisasi dan jabatan-jabatan pelayanan.
Karena itu Organisasi Gereja adalah institusi atau badan yang berasal dari Allah yang diatur berdasarkan konsep Illahi. Karena itu gereja adalah badan surgawi yang turun ke dunia sebagi wadah calon-calon penghuni surga. Gereja bukanlah buah pikiran manusia karena itu manusia tidak memiliki wewenang untuk mengatur atau merubah organisasi gereja. Gereja didirikan oleh Yesus Kristus pada Hari Pentakosta dalam Kitab Kejadian 2 untuk menggenapi nubuatnya dari Matius 16:18, “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”
Berdasarkan ayat yang di atas kita memiliki pengertian bahwa gereja itu adalah milik Kristus karena ada kataKu. Dalam bahasa Indonesia kita mengetahui kata “Ku” kata ganti empunya. Karena Kristus yang mimiliki gereja itu, maka Kristus-lah yang berhak mengatur organisasinya, bukan manusia.
Yang pertama dapat diamati dalam perkembangan gereja pada abad-abad pertama adalah institusionalisasi (pelembagaan). Institusionalisasi merupakan gejala biasa yang dapat dilihat pada semua kelompok yang mengkosolidasikan diri, sehingga tidak perlu dianggap suatu kejatuhan gereja dalam dosa. Institusionalisasi gereja menjadi Nampak dari keseragaman yang diciptakan dalam tata gereja. Dalam tata gereja yang sekitar tahun seratus mulai diterima dimana-mana, setiap jemaat dipimpin oleh satu uskup saja, yang dipilih dari dan disertai oleh majelis, para presbyteros yang dibantu oleh diakonos. Sekaligus peranan uskup semakin ditonjolkan sampai uskup dianggap lebih tinggi dari presbyteros, dan keduanya lebih tinggi dari diakonos. Demikian lah jabatan-jabtan mulai merupakan suatu jabatan hierarki, susunan pangkat dari atas kebawah, tata gereja ini disebut episkopal dan masih dipakai oleh digereja-gereja ortodoks timur, gereja katolik roma dan beberapa gereja protestan ,gereja anglikan, gereja metodis. (Jonge dan Aritonang, 2015, 8. Cetakan ke – 9).
Gereja sebagai lembaga merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena dari sejarah gereja, terdapat susunan kelembagaan yang mendukung pelayanan gereja dalam mencapai tujuan mulia. Gereja dalam pelayanannya terus berkembang, dan membangun iman jemaat dengan fungsi kelembagaannya yang mengikat dalam gereja untuk menjaga kedisiplinan yang bermuara pada ketulusan untuk melayani. Untuk itu gereja membuat jabatan-jabatan untuk mempermudah dan membantu pelayanan dengan beberapa presbiter. Presbiter tentunya memiliki tugas mulia, sehingga orang yang dipilih adalah orang yang dianggap mampu dan memiliki jiwa pelayanan yang sungguh dan integritas diri yang baik.Yang kedua yang dapat diamati adalah gejala bahwa gereja sendiri menjadi, lebih dari dahulu, pokok refeleksi teologis. (Jonge dan Aritonang, 2015, 9. Cetakan ke – 9).
Dari gambaran diatas maka gereja sebenarnya mengalami pergeseran dalam pokok refleksi teologis. Mengapa? Karena orang – orang Kristen masa kini merasa diri satu karena iman bersama dalam diri Yesus Kristus. Namun gereja seharusnya menjadi pengikat antar semua orang Kristen karena mereka yang menerima Kristus sebagai Juruselamat menyadari bahwa melalui baptisan mereka telah memasuki suatu persekutuan keselamatan yang khusus yaitu gereja yang tersebar diseluruh dunia.
Gereja memiliki dua keterangan yang membedakan yaitu gereja yang tampak dan gereja yang tidak tampak, atau gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang kelihatan adalah persekutuan orang yang percaya kepada Yesus Kristus yang berhimpun dalam waktu dan tempat tertentu secara nyata, sedangkan gereja yang tidak kelihatan adalah persekutuan yang percaya kepada Yesus Kristus sepanjang masa dan diseluruh dunia. (Agustinus, 2007, 382)
Dari pikiran diatas, dapat kita katakan bahwa gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan sama-sama berbicara tentang persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus. Hal ini dapat dipahami sebagai organisasi yang menjalankan misi Allah dengan tujuan yang mulia.
Lantaran kecewa tentang keadaan gereja kita maka di dalam ilmu teologi sudah timbul pemisahan antara gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. (Niftrik dan Boland, 2013, 352)
Gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan tentunya memiliki makna dan arti yang berbeda, kebanyakan orang berpendapat bahwa gereja yang kelihatan adalah orang-orang dan gedung gereja, yang tidak kelihatan adalah iman percaya. Saya berpendapat bahwa gereja yang kelihatan adalah dalam bentuk aksi nyata yang memberi hal positif dan sebelumnya diprogramkan dalam bidang atau unit dalam organisasi gereja. Gereja yang tidak kelihatan adalah soal pengakuan iman percaya kepada Yesus Kristus.
 Jika seseorang bersaksi tentang Kristus, dia hanya memerlukan organisasi atau struktur yang sangat kecil bagi kesaksiannya. Selain harus mengetahui tujuan kesaksiannya, segala keperluan lain datang dengan sendirinya. Apa yang di pikirkan, dikatakan dan dilakukan menjadi kesaksian tentang apa yang dia imani didalam Yesus. Bersaksi tidak lagi menjadi tindakan individu yang bebas tetapi telah menjadi kombinasi tindakan atau lebih. Oleh karena itu timbul kebutuhan akan organisasi dan trusktur untuk menjawab kebutuhan pelayanan dijemaat. (Walz 2006, 63).
Gereja sebagai organisasi pelayanan, dengan misinya menjalankan pekerjaan Allah, tidak dapat pungkiri juga bahwa dalam eksistensinya konflik selalu menjadi bagian yang hampir di jumpai setiap hari. Oleh karena nya sinode GMIT, sebagai lembaga gereja dengan tata aturannya untuk mengaturpun masih banyak konflik atau masalah yang dihadapi dan banyak juga yang belum terselesaikan.
Tata Gereja Masehi Injili Di Timor (Majelis Sinode GMIT, BAB IV Pasal 9) Tentang Organisasi dan manajemen pelayanan. Pasal 9, Organisasi GMIT berfungsi untuk menghimpun dan memberdayakan talenta yang dikaruniakan Tuhan kepada GMIT, sehingga bermanfaat bagi bangunan dirinya sebagai Tubuh Kristus demi pelaksanaan amanat Kerasulannya.
Dengan fungsi organisasi, GMIT memberdayakan, menghimpun dan mengelola gereja untuk menjawab pelayanan di tingkat jemaat, dengan Azas kerja pasal 10 ayat 1. Azas kerja GMIT adalah Presbiterial – sinodal yang menjunjung tinggi unsure kemajelisan, kebersamaan, kesetaraan dalam permusyawaratan.
Hal ini menunjukkan bahwa cara kerja GMIT memiliki struktur yang dapat berkoordinasi dengan mengutamakan unsur kemajelisan, kebersamaan, kesetaraan dan permusyawaratan. Dalam kordinasi membutuhkan system organisasi yang kuat, mandiri, dan akuntabel. Tujuannya adalah untuk menjaga Azas kerja yang mengutamakan system bersama. Karena dengan organisasi, gereja dapat menemukan pola yang baik untuk mengola jemaat, karena setiap struktur dalam organisasi pasti terdapat uraian tugas untuk menjawab segala pelayanan kepada jemaat.
Sejauh mana kompleksitas struktur yang diperlukan tergantung pada banyak faktor dan biasanya truktur organisasi gereja segera berkembang tanpa upaya yang sengaja dilakukan. Dan struktur organisasi gereja menjadi lebih rinci dan kompleks. (Walz, 2006, 64)
Dari pandangan diatas dapat kita pahami bahwa gereja secara organisasi diperlukan untuk menjawab kebutuhan gereja dalam melakukan pelayana secara rinci dan efektif dalam pelayanan kepada jemaat. Baik itu jemaat yang kecil atau jemaat yang dalam jumlah banyak. Organisasi gereja akan dipakai sebagai alat yang disesuikan dengan kebutuhan gereja. Dan Strukturnyapun didesain sesuai visi / misi gereja sehingga tidak mengganggu kebutuhan pelayanan.
Gereja dalam jumlah yang kecil antara (200 anggota atau kurang) biasanya berfungsi baik dengan struktur organisasi informal. Mereka seperti sebuah keluarga, peraturan cenderung diterima apa adanya setiap orang tahu apa yang harus dilakukan.
Gereja dalam jumlah sedang ( 200 orang sampai 400 orang) menghadapi kesulitan dengan struktur organisasi informal. Beberapa orang cenderung meniru tindakan orang lain. Beberapa orang lainnya cenderung menanggung beban yang terlalu berat, sementara yang lainnya tidak melakukan apapun. Pada waktu yang bersamaan ditengah kebingungan beberapa kegiatan penting bahkan tidak dapat diselesaikan sama sekali.
Gereja dalam jumlah besar atau banyak (lebih dari 400 anggota) memerlukan struktur organisasi yang lebih formal dan kompleks. Lebih banyak orang yang perlu terlibat dalam kegiatan gereja. Dengan betambanya jumlah pekerja akibat meningkatnya kegiatan, meningkat juga kebutuhan pernyataan kebijakan, pedoman organisasi serta struktur manajemen. (Walz, 2006, 64)
Oleh karena itu saya berpandangan bahwa ketika gereja dengan jumlah yang kecil, maka orang yang menyusun rencana juga merupakan orang yang akan mengerjakannya. Namun ketika jumlah anggota gereja semakin banyak maka orang yang bekerja belum tentu sama dengan orang yang merencanakan atau pemimpin. Namun gereja dalam kenyataannya ketika mengalami pertumbuhan jemaat yang banyak maka diperlukan pemekaran dengan tujuan menjaga stabilitas pelayanan organisasi gereja dan mendekatkan pelayanan.
 Perjanjian Baru menguraikan model gereja di Yerusalem dengan para pemimpin apostolic yang di bawah tekanan tanggungjawab administrasi, menunjuk diaken untuk membantu pengelolaan. Paulus menghadapi persoalan kepememimpinan gereja local dengan keberadaan gereja di Korintus, Efesus dan Filipi. (Walz, 2006, 3)
Berbagai contoh dalam alkitab menunjukkan bahwa tindakan umat Allah memberikan perhatian pada struktur, system dan manajemen. Allah tidak mengatakan kepada gereja bagaimana harus mendirikan system mereka namun Dia meminta mereka untuk “ melakukan segala sesuatu dengan baik dan teratur”. Pernyataan ini merupakan landasan dimana gereja harus mampu mengatur dan mengelola pelayanan secara terartur guna menciptakan keutuhan jemaat. Untuk menciptakan keutuhan jemaat maka struktur organisasi gereja menjadi penting untuk dikelola dalam mencegah segala kepentingan diluar pelayanan. Karena pelayanan merupakan titik puncak gereja menumbuhkan iman jemaat, dan jemaat akan selalu terhindar dari segala konflik kepentingan yang terjadi. Seperti contoh jemaat di Imanuel Kolhua yang merupakan jemaat pinggiran kota namun memiliki perkembangan yang baik, namun perlu pembekalan pemahaman organisasi yang baik guna menunjang pelayanan dalam menghadapi jemaat yang semakin besar.
Konflik bisa saja dapat terjadi karena system yang dibangun dalam struktur organisasi gereja terlalu rumit untuk dipahami. Untuk mencegah konflik didalam jemaat maka diperlukan sumberdaya manusia yang baik dalam menjalankan struktur organisasi gereja, sehingga mencegah konflik truktural dalam organisasi gereja.
2.7. Hikmat sebagai pemecah konflik
1.      Negosiasi
Negosiasi merupakan satu proses yang melibatkan dua atau tiga pihak untuk merundingkan beberapa pilihan pendapat yang menjadi sumber konflik untuk mencapai suatu persetujuan bersama yang saling menguntungkan dua pihak (Liliweri 2014, 348)
Pandangan ini merupakan bagian penting dalam penyelesaian konfli, mengapa!karena negosiasi merupakan cara Hikmat untuk mencapai resolusi konflik tanpa kekerasan. Negosiasi juga menjadi jalan terbaik menuju perdamaian yang tidak merugikan pihak-pihak yang berkonflik. Akan tetap Yang harus diperhatikan sang negosiator harus benar-benar netral dalam melakukan pendekatan baik secarandividu maupun kelompok dan cara-cara ini diharapkan mampu menyelesaikan konflik yang terjadi.



2.      Mediasi
Mediasi adalah proses dimana pihak ketiga disepakati membantu memecahkan sengketa pertengkaran dan konflik antara dua pihak melalui sebuah perencanaan atau transaksi. Pihak ketiga ini tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa dua pihak untuk mengikuti solusi yang di tawarkan (LeBaron Duryea dan Gurndison, 1993). Para mediator menggunakan beberapa variasi proses mediasi.
Medasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang mencoba menawarkan kemenangan yang sedapat mungkin di peroleh oleh pihak-pihak yang bertikai. Selain itu, mediasi merupakan langkah untuk menemukan kepentingan semua pihak yang dapat dirundingkan untuk memperoleh kesatuan pandangan atau keputusan yang baik. Mediasi menggambarkan pula pengetahuan dasar dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang yang mendukung prosesnya. (Liliweri 2014, 349)
Mediasi merupakan cara yang baik namun membutuhkan langkah konkrit yang harsus melibatkan banyak pihak, tujuannya adalah untuk menjaga sitausi supaya tetap aman dan terkendali karna proses ini merupakan proses terbuka sehingga perlu memperhatikan aspek-aspek seperti tekanan psikologi, mental dan paradigm.
3.      Rekonsiliasi
Rekonsiliasi adalah usaha yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk meninjau atau melakukan kembali kegiatan konsiliasi yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Dengan dilakukannya rekonsialisi dharapkan akan terjadi kesepatan yang tidak berubah-ubah karena akan mengganggu kelancaran mediasi. Rekonsiliasi harus berjalan baik sesuai dengan resolusi untuk menghindari terjadi fitback yang mengakibatkan kedua kelompok menjadi ego untuk bertemu. Rekonsiliator harus cerdas dalam memberikan konsep-konsep atau materi-materi pembicaraan bagi kedua kelompok. Hal ini bertujuan untuk mencapai kesepakan yang baik tanpa menghadiri ego dalam menemukan resolusi konflik. Sehingga pada saat mediasi terjadi saling terima kesalahan untuk mencari solusi yang tetap, tanpa mengorbankan pihak-pihak yang bersengketa.[19]
Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang juga menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia sekarang kami tidak lagi menilainya demikian. Jadi siapa yang ada dalam kristus ia adalah ciptaan baru yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami. Sebab Allah telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dan tidak memperhitungkan pelagaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.[20] (Duta Wacana 1999, 1)
Pandangan berdasarkan kutipan 2 Korintus ini menunjukkan bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan. Hikmat Allah menjadi menjadi satu-satunya jalan untuk rekonsiliasi yang dilakukan oleh Yesus sebagai Sang Mediator yang memperdamaikan manusia dengan Allah. Allah telah membuat rekonsiliasi terlebih dahulu dengan berdamai dengan manusia dan telah mempercayakan semua pelayanan-Nya kepada Manusia.
Banyak orang memilih mediasi sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik, apa yang mereka alami adalah arbitrasi, ini berarti kebanyak orang lebih memilih mediasi daripada arbitrasi. (Duta wacana, 1999,13)
Pada umumnya orang lebih memilih mediasi karena karena dianggap lebih efektif untuk menyelesaikan konflik-konflik besar. Mengapa orang tidak suka memilih arbitrasi karena orang melihat arbitrasi sebagai cara tradisional yang dipakai untuk penyelesaian konflik, misalnya system yang ada pada TNI dan Polri atau Birokrasi atasan langsung dapat menyelesaikan masalah dengan tujuan win-win solution (menag-menang atau kalah-kalah). [21]
4.      Pendekatan
Pola pendekatan dibagi atas beberapa bagian diantaranya:
Pedekatan berbasis kekuasaan: mengadung pengertian berdasarkan kekuasaan dengan menerapkan kekuasaan untuk menyelesaikan konflik, serta dengan kekuasaan mengganjurkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk dapat bersaing secara adil.
Pendekatan berbasis hokum dan hak: mengandung pengertian menyelesaikan konflik melalui jalur hokum agar pihak yang terlibat konflik dapat memperoleh apa yang diperjuangkannya melalui lembaga peradilan, arbitrasi dan mediasi atau mencari pihak ketiga yang berperan sebagai penengah dalam konflik.
Pendekatan berdasarkan kepentingan: mengandung pengertian menyelesaikan konflik dengan mendistribusi pihak-pihak yang terlibat bedasarkan kepentingan mereka caranya dapat melalui negosiasi yang menghasilkan win-win solution dan mediasi berdasarkan kepentingan.
Pendekatan relasional: mengandung pengertian penyelesaian konflik denganmempertimbangkan perbaikan relasi antar pihak-pihak yang terlibat konflik berdasarkan kepentingan, hak dan hokum, etika dan kekuasaan membangun relasi antara dua pihak, memberikan kesempatan kepada dua pihak untuk berbicara secara terbuka dan bebas mengungkapkan perbedaan pendapat, menciptakan dialog melalui pendekatan negosiasi dan mediasi, rehabilitasi melalui jalan keadilan dan rekonsiliasi dan pendekatan transformative untuk mencapai perdamaian.
Pendekatan distributive: mengandung pengertian menyelesaikan konflik dengan mempertimbangkan distribusi masing-masing pihak dalam masalah sehingga menghasilkan penyelesaian, memanfaatkan sumber daya dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yang pada gilirannya dapat menghasilkan penyelesaian yang win-win solution, menyelesaikan konflik sehingga tidak lagi menimbulkan klaim dari pihak-pihak yang terlibat konflik dan menyelesaikan konflik dengan berusaha untuk mengurangi atau memperkecil ruang-ruang perbedaan antara pihak-pihak yang terlibat konflik.
Pendekatan integrative: memperhatikan masalah yang akan dipecahkan dipandang sebagai sesuatu yang lebih utama sehingga diselesaikan secara integrative daripada menyelesaikan terburu, sumber daya yang disengketakan cukup tersedia, malah dapat diperbanyak sehingga mudah diselesaikan atau dibagi, dua pihak menginginkan bukan penyelesaian yang utama melainkan cara memecahkan dan proses menyelesaikan masalah yang dapat menciptakan nilai baru, dua pihak sangat menekankan agar masing-masing kepentingan dapat di akomodasikan dan akhirnya dua pihak dapat menerima win-win solution. (Liliweri 2014, 347)
Pola-pola pendekatan adalah hal baik untuk dilalui dengan tujuan supaya konflik itu dapat direda dan membutuhkan kemampuan yang baik untuk mengelola segala informasi agar dapat dianalisis dengan baik, dalam rangka membangun mediasi antar dua kelompok. Namun yang perlu diperhatikan adalah yang melakukan pendekatan adalah orang yang bukan dari kedua pihak. Tetapi membutuhkan orang lain untuk dianggap bisa percaya untuk memediasi kedua kelompok tersebut. Pola pendekatan sangat efektif untuk menciptakan perdamain tanpa melalui kontak fisik.
2.8. Manajemen Konflik
Pengembangan model pengelolaan konflik merupakan hasil interpretasi dan rekonstruksi berdasarkan kajian teoritis dengan memperhatikan kesesuaian literature dan teori-teori kontemporer. Alternative model manajemen konflik yang inovatif didasari oleh pemikiran bahwa konflik merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari dalam ktivitas pencapaian tujuan. Keberadaan konflik sebagai indikasi tumbuhnya dinamika individu atau kelompok yang saling berkompetisi untuk meraih prestasi. Kompetisi antar individu atau kelompok dikategorikan sebagai bentuk konflik yang fungsional jika memperjuangkan kepentingan yang lebih besar atau kelangsungan organisasi. (Wahyudi, 2011,106).
Pemikiran diatas perlu dicermati secara baik karena, bisa saja orang dapat berasumsi lain, namun perlu adanya sikap kewaspadaan terhadap kemungkinan munculnya konflik yang dapat merugikan organisasi sebagai akibat dari kekecewaan salah satu pihak yang merasa kurang berhasil mencapai prestasi yang di inginkan.
Terdapat beberapa model hipotetik manajemen konflik yang di tawarkan untuk meningkatkan kinerja dan prduktifitas organisasi dan penerapan model dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a.       Perencanaan
Perencanaan meliputi kegiatan-kegiatan identifikasi masalah klasifikasi masalah dan analisis masalah.
1.      Identifikasi masalah
Tahap awal prosedur impementasi berupa identifikasi masalah yang muncul dengan cara melihat gejala-gejala yang mengikutinya. Pimpinan harus mampu memisahkan antara gejala konflik dengan masalah yang menjadi penyebab konflik. Gejala yang muncul dapat dilihat antara lain: motivasi kerja rendah, sikap apatis atau perilaku menghambat pekerjaan, suasana kerja menjadi tegang saling curiga, namun gejala yang Nampak dimaksud bukan inti dari masalah. Masalah dapat bersumber dari peraatan yang terbatas, pimpinan yang tidak aspiratif atau disain organisasi yang kurang mendukung kelancaran pelaksanaan tugas. Untuk mengetahui masalah yang menimbulkan konflik dapat dilakukan dengan cara mendengar keluhan dari pihak-pihak yang sedang konflik atau meminta keterangan dari orang-orang terdekat yang mengetahui proses terjadinya konflik. Selanjutnya didiskusikan pada tingkat pimpinan untuk mengetahui dan sekaligus mengidentifikasi masalah secara tepat.



2.      Klasifikasi masalah
Konflik muncul disebabkan berbagai macam persoalan, saling berkometisi untuk mengalokasikan sumber daya organisasi yang tebatas atau yang dikarenakan perbedaan tujuan, nilai atau persepsi dalam menerjemahkan program-program organisasi. Karena itu untuk mempermudah dalam pengelolaannya, perlu dilakukan pengelompokka/pengklasifikasian sumber-sumber konflik dari berbagai macam sumber konflik, Fieldman dan Arnold (1983:513) membagi menjadi dua kelompok yaitu kurangnya koordinasi kerja antar kelompok dan kelemahan system control orgaisasi. Kurangnya koorinasi kerja antar kelompok berkenan dengan saling ketergantungan pekerjaa, keraguan dalam menjalankan tugas karena tidak terstruktur dalam rincian tugas, dan perbedaan orientasi tugas. Sedangkan kelemahan sistem kontrol organisasi berkenan dengan kelemahan manajemen dalam merealisasikan sistem penilaian kinerja, kurang koordinasi antar unit atau bagian, aturan main tidak berjalan secara baik dan terjadi persaiangan yang tidak sehat dalam memperoleh penghargaan. (Wahyudi, 2011, 111-112)
Selain pengelompokkan jenis-jenis konflik dan sumber-sumber konflik juga perlu dilakukan klasifikasi konflik yang bersifat fungsi dan disfungsional. Konflik fungsional dapat dijelaskan sebagai perbedaan pemikiran, inisiatif atau pertentangan antara individu atau kelompok yang mengkritisi persoalan-persoalan yang menghambat pencapaian tujuan sampai ditemukan solusi sehingga dapat memperlancar aktivitas organisasi. Sedangkan konflik disfungsional adalah pertetangan perselisihan atau perbedaan persepsi antar indvidu atau kelompok dalam alokasi sumber daya organisasi atau perbedaan pemahaman dalam menerjemahkan program yang berlangsung dalam jangka waktu lama, sehingga mengganggu target oganisasi.
Pengelompokkan jenis-jenis konflik, sumber-sumber konflik dan klasifikasi terhadap konflik yang bersifat fungsional dan disfungsional dapat mempermudah dalam melakukan analisis masalah dan pemelihan pendekatan manajemen konflik yang akan diterapkan.
3.      Analisis masalah
Analisis dilakukan untuk mengetahui apakah termasuk kategori penting dan mendesak untuk diselesaikan atau dapat ditunda dengan memperhatikan kemampuan organisasi. Sebagai contoh, banyak organisasi menunda untuk menambah sumber daya organisasi (peralatan kerja atau mesin) karena memerluka dana yang banyak dan waktu yang lama untuk mengembalikan modal “ rate of return”. Demikian juga banyak organisasi kurang tertarik untuk melakukan restruktursasi organisasi karena terikat denga atauran/regulasi yang berlaku dalam institusi peemerintahan. Berbeda dengan institusi swasta lebih leluasa untuk mengadakan perubahan struktur organisai baik yang menyangkut bagan sebagai alur mekanisme kerja maupun pergantian personel sebagai upaya peningkatan kinerja organisasi.
b.      Pelaksanan
Tahapan selanjutnya setelah perencanaan adalah pelaksaan, pelaksanaan dalam proses manajemen konflik adalah penentuan pendekatan dan penerapan metode/pendekatan manajemen konflik yang telah dipilih secara tepat dengan mempertimbangkan resiko minimal.
1.      Penentuan metode / pendekatan
Penentuan atau pemilihan pedekatan sangat tergantung pada masalah yang muncul, dan kemampuan pemimpin dalam mengelola konflik agar menjadi kekuatan organisasi, pemilihan pendekatan harus dipertimbangkan sungguh-sungguh kemungkinan dampak yang dapat ditimbulka, diusahakan berpengaruh pada peningkatan kinerja secara individu atau kelompok. Sejumlah pendekatan sering digunakan adalah resolusi konflik, stimulasi konflik dan pengurangan (reduce) konflik.
2.      Penyelesaian masalah melalui manajemen konflik
Pendekatan manajemen konflik merupakan tahapan lanjutan setelah dilakukan analisis masalah. Konflik yang terjadi dapat menguntungkan/fungsional dan merugikan atau menghambat pencapaian tujuan organisasi. Pendekatan manajemen konflik yang dipilih dan diterapkan bergantung pada masalah yang dihadapi dan dampak yang ditimbulkan. Apabila konflik terlalu tinggi dicirikan dengan perilaku agresif, ego kelompok, saling menghambat pekerjaan, maka pendekaan yang sesuai adalah mengurangi (reduce) konflik. Akan tetapi sebaliknya apabila konflik terlalu rendah yang dicirikan motivasi kerja rendah, muncul sikap apatis, kurang tanggap terhadap masalah maka lebih tepat memilih pendekatan stimulasi konflik dengan cara meningkatkan kompetisi, evaluasi kinerja secara terpadu dan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih giat. Demikian halnya apabila konflik berada pada tingkat yang optimal masing-masing pihak yang sedang konflik berorientasi pada tugas, berusaha mencari solusi, berusaha mengembangkan diri dan berusaha mengevaluasi kinerja masing-masing, maka dapat dilakukan resolusi konflik dengan cara musyawarah, negosiasi, konfrontasi ataupun tawar menawar. (wahyudi, 2011, 113-114)
c.       Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan penting dalam keseluruhan proses manajemen konflik. Dengan mengetahui pencapaian pelaksanaan manajemen konflik yang dilakukan dan dampak yang ditimbulkan maka kegiatan evaluasi merupakan langkah yang kritis karena sebagai landasan untuk melakukan koreksi ataupun pemantapan pada langkah-langkah sebelumnya.
Keberhasilan manajemen konflik dapat dilihat dari sikap dan perilaku kinerja individu atau kelompok karyawan. Dampak positif dapat dicapai apabila anggota organisasi menunjukkan motivasi kerja, berusaha mencari pemecahan masalah setiap terjadi perbedaan atau pertentangan, mengadakan evaluasi selama proses kegiatan dan membandingkan dengan standar yang telah ditetapkan, mengadakan perubahan jika terdapat kesalahan dalam prosedur kerja dan berorientasi pada tujuan atau tugas. Sebalik sikap dan perilaku yang perlu mendapat perhatian adalah munculnya sikap apatis sekedar melaksanakan tugas, motivasi kerja rendah dan sekedar melaksanakan tugas tanpa usaha yang sungguh-sungguh untuk berprestasi.
Manajemen konflik yang berhasil akan menigkatkan kinerja individu yang ditunjukkan dalam perilaku kerja dan hasil kerja. Performansi yang dimaksud dalam pengertian disini diartikan sebagai perilaku kerja dan hasil kerja yang telah dilakukan didalam organisasi. Perilaku kerja terlihat dari cara kerja yang penuh semangat, disiplin, bertanggungjawab, melaksanakan tugas sesuai standar yang ditetapkan, memiliki motivasi dan kemampuan kerja yang tinggi terarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan hasil kerja merupakan proses akhir dari satu kegiatan yang dilakukan anggota organisasi yang berupa barang yang dibuat, diciptakan, banyak layanan atau meningkatkan layanan yang telah diberikan informasi yang berguna bagi peningkatan keterampilan atau pegetahuan masyarakat. (wahyudi, 2011, 114)
2.9. Alkitab dan Konflik
Jika perasaan yang kuat atau perbedaan pendapat dapat mengancam keharmonisan gereja. Sekalipun Alkitab menunjuk orang percaya sebagai orang "kudus", tidak berarti mereka sempurna. Sebaliknya, mesti berpikir realistis bahwa pertengkaran pasti akan terjadi karena beberapa bagian dari Alkitab memberi  petunjuk tentang bagaimana menyelesaikan konflik yang timbul dalam jemaat. Antara lain: Persoalan Pribadi.[22] 
Bagian pertama adalah catatan tentang pengajaran Tuhan Yesus sendiri. Dia memberi tahu para pengikut-Nya mengenai hukuman yang akan diterima orang berdosa. Mereka tidak sepatutnya menimbulkan keributan dan menjadikannya masalah besar, sebaliknya mereka harus mendatangi orang berdosa ini dan mengonfrontasikan kesalahannya dengan penuh kasih. Inilah yang dikatakan Yesus:"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai."
Masalah Kebijakan: Kisah Para Rasul 6:1-7. Perikop ayat ini menceritakan sebuah situasi yang menyebabkan terjadinya pertengkaran hebat. Jemaat gereja mula-mula di Yerusalem yang menyalurkan uang dan makanan kepada janda-janda miskin, mulai pilih kasih. Kemungkinan mereka adalah kelompok mayoritas orang kristiani Yahudi yang berbahasa Aram. Mereka ini tidak pernah menyukai orang Yahudi yang memakai bahasa Yunani sebagai bahasa ibu. Prasangka ini dibawa ke dalam gereja sehingga para janda dari kaum yang lebih minoritas itu dilalaikan.
Hal ini membuat para anggota gereja berkebangsaan Yahudi yang berbahasa Yunani mulai gusar dan mengeluh. Sedikit demi sedikit emosi terus meninggi. Masalah besar akan timbul bila mereka tidak segera mengambil tindakan pencegahan. Karena itulah para rasul campur tangan, dan mereka berhasil menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Bagaimanapun juga ini baru masalah kecil, yang tidak menyangkut ketidaksetujuan besar yang menyeret gereja ke dalam pertengkaran. Namun, kita mesti sadar bahwa banyak gereja pecah karena setengah anggotanya menginginkan organ merek tertentu, sedangkan lainnya menginginkan merek yang berbeda.
Inilah yang dilakukan para rasul untuk menyelesaikan konflik yang timbul.Mereka menghadapi masalah itu. Ketika para rasul mendengar bahwa orang Yahudi yang berbahasa Yunani mengeluh, mereka segera bertindak. Mereka tidak menyembunyikan masalah ini di bawah bantal dan berharap akan selesai sendiri. Mereka juga tidak membela diri, atau melihatnya sebagai kegagalan dalam kepemimpinan mereka. Sebaliknya, mereka mengumpulkan jemaat sehingga setiap orang tahu apa yang terjadi. Mereka tidak melindungi kepentingan mereka sendiri.
Mereka bertindak dan Para rasul menawarkan pemecahan masalah ini:
"Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman." [23]
Para rasul melihat dengan jelas bahwa mereka harus memberi prioritas pada doa dan firman. Mereka menyimpulkan bahwa tanggung jawab menyalurkan makanan harus ditangani oleh orang-orang kristiani yang dapat dipercaya. Dan mereka melibatkan jemaat dengan meminta mereka memilih tujuh orang yang akan menangani peyalanan ini. Mereka menunjukkan kepercayaan. Jemaat yang mengikuti para rasul, mengambil langkah berikutnya dengan memilih tujuh orang dari kelompok minoritas untuk mengatur tugas harian.
Kita mengetahui hal ini karena setiap orang yang terpilih mempunyai nama Yunani. Kaum Aram yang mayoritas bisa saja berkata, "Lihat, kami telah menunjuk lima orang dari kelompok kami. Silakan kalian utus dua orang dari kelompok kalian." Meski hal ini mungkin dapat diterima, tetapi belum tampak adanya perhatian dan kepercayaan yang membangun kebersamaan. Ketika mereka melihat tindakan yang penuh kasih dan kepercayaan itu, kelompok orang percaya berbahasa Yunani yang minoritas itu tidak lagi mempertahankan pertengkaran, sebaliknya menyelesaikan konflik dan mengasihi saudara-saudara seimannya.
2.10.        Pandangan Teolog Kristen tentang konflik
Menurut Muste dalam Wink, konflik dapat terjadi karena sikap pasifisme, tidak disengajakan namun dapat saja terjadi disetiap kehidupan manusia. Menarik dari pandangan ini bahwa Penyelesaiannyapun dapat dilakukan dengan sikap pasifisme, asalkan memenuhi karakter sebagai berikut: (1) berani mengakui kesalahan sendiri (2) berani mengatakan kebenaran (3) tidak takut (4) harus mampu mengalihkan pertikaian fisik kesuasana lain merupakan saluran yang menjadi kekuatan lain yang menciptakan hukum lain.(Wink, 2012, 59-61)
Sikap seperti ini merupakan sikap tidak peduli terhadap lingkungan dimana dia ada, hanya bergantung pada kepentingan dirinya sendiri, namun memiliki kelebihan yaitu spontan dalam menyikapi setiap masalah, berani berkata yang sesungguhnya karena tidak perduli dengan kehidupan orang lain. [24][25]
Menurut Luther Dalam Duta Wacana University Press.Kekerasan atau konflik membawa inpraktikal (Tidak baik) immoral (Jahat) tidak berguna karena pada akhirnya menghasilkan kehancuran untuk semua. Pada perjanjian lama ada istilah “mata” ganti “mata”. Immoral karena manusia lebih banyak melawan dari pada pengertiannya. Hal itu manghacurkan banyak hal, kekerasan bersifat immoral karena menghancurkan cinta, komunitas dan tidak saling mengenal dan tidak ada dialog. Kekerasan menciptakan peperangan dan pada akhirnya menghancurkan. (Duta Wacana, 1999, 1)
Konflik merupakan bagian dari hidup akan tetapi konflik jaga sampai meruntuhkan cinta, komunitas dan tidak saling mengenal. Dialog merupakan salah satu solusi untuk mendamaikan pihak yang berkonflik sehingga tidak ada kekerasan. Karena sejatinya kekerasan hanya hanya bisa diakhiri dengan mengalahkan kekerasan itu sendiri. Maksudnya adalah paradigm lama harusnya di tinggalkan dan menggunakan cara-cara santun yang menjada persekutuan di zaman modern seperti ini. 



2.11.        Pandangan Orang Helong Tentang Konflik
Orang Helong menyebut masalah dengan istilah dasi yang artinya masalah. Dasi (masalah) tentunya merupakan bagian dari kehidupan manusia termasuk orang helong sendiri. Oleh karena itu dasi ditujukan juga untuk hal yang baik, dalam arti ada dasi yang baik dan tidak baik. Misalnya dalam penyampaian dais in mate nol dais in kabing arti masalah kematian dan masalah perkawinan atau dais in ko madi afa nol dais in nek afa artinya masalah saling memarahi dan masalah saling sayang. Kata ini menjelaskan secara jelas bahwa masalah atau konflik merupakan proses yang mestinya harus dapat dilalui oleh setiap orang helong karena masalah merupakan jalan untuk memperoleh kabaikan. Untuk itu dapat kita amati konflik yang terjadi dikalangan orang helong dari masa ke masa yakni:
a.       Konflik-konflik di Orang Helong.
Kata Helong berasal dari dua suku kata He dan Lo , sedangkan He, berarti “Jual” dan Lo berarti “Tidak” maka kata Helo artinya “Tidak Jual”. Pengertian umum dari kata Helo adalah pengorbanan atau rela berkorban. Dalam pergaulan dan perkembangan penggunaan bahasa secara etimologi, kata He dan Lo menjadi Helong. Falsafa hidup etnik Helong dari leluhurnya, etnik ini bersedia berkorban dan tidak rela diganggu, karena dia berbalik membalas. (Luitnan Arries, 2012,7).
Dari pengertian atau falsafa hidup orang Helong, menunjukkan karakter manusia yang ingin hidup baik (damai). Karena memilik pandangan hidup dari nenek moyang bahwa tidak boleh saling menyakiti bahkah lebih dari itu orang Helong rela berkorban untuk sesuatu yang sangat penting. Dalam perkembangannya di Kota Kupang pun megalami berbagai kesulitan-kesulitan, diantaranya segala pengorbanan orang Helong seperti, sebagian wilayah diberikan untuk membangun kota (dibangun gedung seperti Kantor Gubernur NTT, SD bertingkat Naikoten dan lain-lain). Namun orang Helong merasa terusik dan terkadang merasa telah terusir dari kampungnya sendiri karena pemerintah terus mengejar orang Helong seperti zaman nenek moyang, misalnya dengan rencana pembangunan bendungan raksasa Kolhua, dengan menghabiskan 118 hektar tanah.
Konflik dalam suku Helong sendiri sangat beragam, misalnya soal status sosial, yang dianggap keturahan Lahi atau Raja dengan yang bukan keturunan Lahi atau Raja. Hal ini penting untuk diketahui bahwa dalam suku Helong sendiri diceritakan bahwa berasal dari pulau seram, dalam perjalanan ini mendapati berbagai rintangan bersama kelompoknya, tentu semua yang ada dalam kelompok tersebut ketika mendapatkan persoalan maka akan merasa sama-sama sepenangung untuk menyelesaikan.
Menurut dokumen (catatan tulisan tangan) yang dibuat oleh fetor semau Christian Dean Bissilisin (Putera Raja Dean Manas Bissilisin) bertanggal 3 Februari 1953, intinya membantah surat keluasan yang dikeluarkan Raja Dean Manas Bissilisin kepada Sersan Soesang Obeng. Kata Christian Dean Bissilisin bahwa surat itu keluasan tersebut dinyatakan Palsu. Bunyi surat keluasan tersebut selengkapnya sebagai berikut:
saya Dean Manas Bissilisin, Raja Koepang Tua member keluasan kepada soesang obeng, boleh mendirikan sebuah rumah dalam kontal kebun saya di kebun air serta boleh membersihkan dan menanam jagung, kacang dan labu tiap tahun
Mengenai sengketa itu akhirnya Sonaf Kai Salun yang diperkarakan tahun 1939, dengan pokok perkara bahwa keluasan yang diberikan kepada sersan Soesang Obeng terbatas untuk membangun rumah tinggal sederhana beratap daun dan berlantai tanah dengan tanaman umur pendek. Akhirnya keputusan perkara dimenangkan oleh keluarga Bissilisin dan memerintah sersan Soesang Obeng membongkar rumahnya. (Luitnan Arries, 2012, 73)


[1] Nir kekerasan merupakan terjemahan yang di bahasa indonesiakan.
[2] Nir kekerasan berarti penyelesaian masalah tanpa kekerasan fisik.
[3] Edward John Carnel, Commitment : An Aologetic (New York: Macmillan 1957 ), Hal. vii
[4] Bdk. Pudarnya Kebanaran , Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Potsmoderen.(2003) hal.133.
[5] Baca dan bdkn pemahaman alkitab setiap hari, surat-surat Yohanes dan Yudas (William Barcleay, 2012)
[6] Lihat hal.218, 235
[7] Pruitt dan Rubin (2004:200-214) eskalasi konflik diamati melalui pendekatan tiga model konflik, yaitu pertama Model aggressor-defender, yang kedua model spiral konflik, dan yang ketiga model perubahan struktural
[8] aggressor-defender artinya (pengerang dan pihak yang bertahan)
[9] Baca, buku konflik dan pergerakan social “isu-isu kontemporer perlawan masyarakat adat konflik tanah dan kekuasaan” (Yusuf Muhammad dkk. Hal 2- 10)
[10] Baca konflik dan pergerakan social hal, 2. Teori resistensi: “studi resistensi merupakan bagian dari pergerakan dan aksi sosial dalam banyak aspek kehidupan social, aksi social dipandang sebagai aksi menetang negara dan kebijakan negara perjuangan atau politik grass –root demi kepentingan manusia melibatkan actor dan partisipan (sing, 2010:130-132). Gerakan sosial dipahami sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan tak terlembaga yang dilakukan oleh sekelompk orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan dalam sebuah masyarakat (Mirsel, 2006:6)” gerakan social mencakup peralaku kolektif, gerombolan orang banyk, massa, berorientasi pada nilai dan antisistemik dalam bentuk simbolisme (Gaus dan Kukathas, 2012:610-611).
[11] Pemikiran resistensi dalap dirujuk dalam tulisan Foucault yang berjudul “the history of sexuality” dalam karya tersebut ia mengajukan tesis bahwa: “where there is power, there is resistance, and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of exteriorty in relation to power” (Foucault, 1990:95)
[12] Seperti yang saya gambarkan sebelumnya bahwa hikmat Allah secara alkitabiah merujuk pada kemampuan Allah mengahadirkan hikmat dalam Yesus. Yesus berperan sebagai pembawa damai bagi umat manusia, yang dengan segala yang dilakukan manusia telah menciderai Allah. Oleh karena itu yesus tampil sebagai sang mediator yang mampu menciptakan perdamaian dan Yesus sebagai jalan kepada Bapa di Sorga
[13] Baca keterampilan komunitas dalam menghadapi konflik 2002, teori dan masukan, bekerja dalam komunitas, anggapan dan peringatan.mediator atau fasilitato menjadi pemain tunggal yang dianggap sebagai malaikat untuk hadir mneyelesaikan masalah atau masalah yang ada dicegah untuk tidak terulang-ulang. Hal ini mennujukkan bahwa sang mediator akan menjadi pembawa damai bagi semua orang. Fasilitator juga perlu berhati-hati untuk mencegah seseorang yang memaparkan informasi tentang diri mereka sendiri. Karena ketika fasilitator atau sang mediasi menyadari munculnya emosi meluap dalam diri seseorang, mungkin akibat pengalaman kehilangan belakangan ini yang berkaitan langsung dengan konflik.
[14] Penggunaan istilah’ fasilitator ‘ dinggap sama dengan istilah yang digunakan organisasi lain, misalnya tutor atau pelatih. Istilah ‘protestan’ dan ‘katolik’ digunakan untuk mendiskripsikan dua kelompok agama / politik utama di Irlandia utara karena adanya keyakinan bahwa kedua istilah tersbut dapat merefleksikan realitas historis dari kelompok tersebut.
[15] Lihat kamus ilmiah. Hikmah = kepandaian; kebijaksanaan; kebaikan yang berharga; hikmat; kesaktian (gaib). Hikmat menjadi hal yang penting dalam mencegah segala konflik yang terjadi dalam jemaat.

[16] Lihat eknsiklopedi masa kini. Hikmat dalam PL adalah sekaligus bersifat agamawi dan praktis, dan berasal dari ‘takut kepada Tuhan’ bndk (Ayub 28 : 28; Mzm 111 : 10; Ams 1:7;  9:10). Hikmat berkembang menyentuh segenap hidup, seperti ditunjukkan dan jelaskan secara luas dalam Ams. Hikmat memperoleh pengertian yang dikumpulkan dari pengetahuan tentang jalan-jalan Allah dan menerapkan dalam hidup sehari-hari.

[17] Hikmat dalam PB. Pada umumnya bersifat praktis sama seperti PL. Hikmat jarang netral (meskipun bandingkan hikmat orang mesir, kis. 7: 22); ia adalah karunia Allah atau Melawan Allah. Kristologi hikmat Paulus adalah suatu konsepsi yang dinamis, sebagaimana diperlihatkan pada penekanan kegiatan kristus dalam penciptaan, Kol 1:15 dab dan dalam penebusan serta 1 kor 1:24, 30. Ayat-ayat terkhir menegaskan bahwa dalam penyaliban. Allah membuat Yesus menjadi hikmat kita, suatu hikmat yang lebih jauh diterangkan sebagai merangkumi pembenaran, pengudusan dan penebusan.
[18] (Baca Matius 27:45-56).
[19] Rekonsilisi sangat dibutuhkan dalam menciptakan pardamaian bagi kelompok-kelompok yang bekonflik karena rekonsili membutuhkan kekuatan atau usaha orang lain yang mencintai perdamaian, ada syarat-syarat yang harus dilakukan dalam rekonsiliasi agar tujuan perdamaian dapat tercapai. Baca “dialog perdamaian dan persaudaraan, Suseno frans, juli 2015, 9-16)
[20] Lihat. 2 Korintus 5 ayat 16 – 19. Allah telah mendamaikan diri-Nya dengan manusia melalui Yesus Kristus. Dan itu adalah rekonsiliasi Allah sebagai Hikmat Allah.
[21] Arbitrasi: perwasitan; hal keputusan wasit; perantara penengah sengketa. Arbitris: wasit perempuan. Arbitrase: peradilan terhadap perorangan (dengan KUHP),Arbitrare: pemisahan, penengahan, peleraian, pengadilan
[22] Bandingkan: Matius 18:15-20.
[24] Lihat buku pudarnya kebenaran,pembela kekristenan terhadap potsmoderen. (2003), Hal. 1-10,
[25] D.M. Crump, “ Truth,” di dalam Dictionary of Jesus and the gospel, di edit oleh Joel B. Green, scott McKning dan I. howard Marshall (Downers Grove III : InterVarsity Press, 1992), hal. 859.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

legenda ikan foti (jalan menuju batu kematian)

LIL AU NOL DAEL BANAN

Oktober Sebagai Bulan Keluarga Dalam Konteks Pendidikan Agama Kristen